Hoaks bagai gula yang selalu mengundang semut, politikus curang pencuri kesempatan yang memanfaatkan minimnya budaya literasi masyarakat.
Motif penyebaran hoaks sejalan dengan perkembangan media sosial yang memicu pertumbuhan produksi hoaks dalam jumlah makin besar dari waktu ke waktu. Media sosial jelas jadi platform paling ideal untuk menyebar informasi sesat.
Penyebaran lewat media sosial termasuk cara paling konkret. Sebab pada dasarnya menyebarkan informasi melalui metode konvensional seperti iklan dan layanan komersil memiliki standar akurasi tinggi. Artinya, para penyebar hoaks tentu tak bisa sesuka hati melempar kebohongan.
Selain itu, dalam hal keakuratan objek, media sosial jelas memiliki tingkat keakuratan yang tinggi, karena algoritma umum yang dibentuk media sosial memungkinkan para penyebar hoaks melemparkan kebohongan kepada klasifikasi pengguna yang mereka tuju.
Berdasarkan penelitian Trend Micro Research yang berjudul The Fake News Machine: How Propagandists Abuse The Internet and Manipulate The Public, ada tiga alasan penggunaan media sosial sebagai alat penyebar hoaks.
Pertama, tak butuh terlalu banyak uang untuk menyebar informasi lewat media sosial. Kedua adalah pertimbangan anonimitas sehingga penyebar hoaks dapat menyembunyikan identitasnya. Ketiga, sifat media sosial yang lebih memprioritaskan viralnya sebuah konten ketimbang kredibilitas penyebar konten.
Motif utama
Lebih dari itu, penelitian ini juga memetakan motif utama penyebaran hoaks. Setidaknya ada tiga poin penting untuk memahami persoalan ini.
Dimulai dari motif yang rasanya paling rasional, yakni motif finansial. Sebagaimana diulas dalam artikel Hoaks Penuh Gula dan Disemuti Kepentingan, bahwa ada motif finansial dalam penyebaran hoaks.
Motif ini menjelaskan bagaimana peyebar hoaks mencari keuntungan dari penyebaran berita palsu. Keuntungannya dari mana. Selain kebanyakan sebaran hoaks dilakukan berdasar pesanan pihak-pihak kurang ajar, keuntungan lain sangat mungkin didapat para pelaku dari iklan.
Jangan salah, sebab situs hoaks merupakan ladang yang sangat menarik para pemasang iklan, seiring dengan kemampuan pelaku merancang konten-konten bersifat clickbait yang cenderung memancing rasa penasaran netizen.
Motif kedua adalah motif politik, klasik. Konten hoaks diproduksi dalam bentuk narasi politik yang tujuannya pun politis, sesuai dengan agenda politik pihak tertentu.
Dalam motif ini, propaganda politik akan kentara betul, karena seluruh kabar bohong dirancang untuk mengendalikan persepsi dan pikiran orang-orang yang mereka sasar, agar mengarah pada citra politik yang dibangun para pembuat hoaks. Ya, pada akhirnya bertujuan membangun opini sesuai pesanan.
Motif terakhir adalah pembunuhan karakter plus bocornya data. Motif ini berkaitan erat dengan motif politik. Dan kenyataannya memang kerap bersinggungan dengan motif politik.
Dalam hal ini, para pembuat hoaks akan berusaha membocorkan berbagai data mengenai aktor politik yang mereka jadikan 'lawan'. Data pribadi itu kemudian akan digunakan sebagai bahan propaganda dan kampanye hitam.
Infografis (Rahmad Bagus/era.id)