Dangdut Asyik Kampanye Politik
Dangdut Asyik Kampanye Politik

Dangdut Asyik Kampanye Politik

By Yudhistira Dwi Putra | 09 Mar 2018 21:32
Jakarta, era.id - Kampanye politik di Indonesia memiliki kecenderungan menggunakan musik dangdut sebagai kendaraan dalam meraup dukungan. Dari artis terkenal sampai yang tidak terkenal kerap berseliweran di atas panggung kampanye dari satu titik ke titik lain. Mengapa harus musik dangdut? Bukan pop, rock atau bahkan musik metal?

Menurut pengamat dan wartawan musik senior, Denny MR, musik dangdut merupakan genre musik yang punya massa besar. Sebagian besar penggemar dangdut adalah sasaran empuk para politikus untuk mendapatkan dukungan. 

"Jadi, memang untuk menggapai lapisan masyakat 'bawah' musik dangdut menjadi efektif, karena dangdut salah satu genre yang punya pengaruh besar di kalangan masyarakat yang menjadi sasaran tembak partai-partai politik," urainya kepada era.id melalui sambungan telepon.

Itulah mengapa, lanjut Denny - yang pernah berperan sebagai manajer Nicky Astria, Pas Band dan kini menjadi salah satu orang penting dalam jajaran manajemen God Bless - setiap musim kampanye, artis dangdut bisa dipastikan laris manis. 

"Dari yang terkenal sampai yang nggak pasti dapet job. Di kalangan dangdut, nama itu nggak pengaruh. Yang penting lagu apa yang dibawakan. Mereka tidak akan mendatangkan band pop atau rock karena dari segi bisnis tidak menguntungkan." 

Para pedangdut, sambungnya, selalu siap tampil di venue-venue yang sulit dijangkau dengan durasi penampilan yang pendek. Sementara artis pop dan rock belum tentu mau.

"Suara yang diharapkan (dari artis pop) juga belum tentu sesuai yang diharapkan. Artis dangdut mana ada sih yang konser berjam-jam? Sementara orang yang kampanye harus bergerak dari satu titik ke titik lain."

"Dangdut itu beda, dangdut adalah produk," tandasnya.

Hal senada juga dilontarkan Tantan Hermansyah, Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah. Menurutnya, musik dangdut adalah representasi massa sehingga ketika elite partai menampilkan musik dangdut, dirinya merasa sebagai representasi massa.

"Kan kalangan yang bawah itu, grassroot...  Dan banyaknya massa yang tertarik itu, makin banyak," kata Tantan. 

Tapi, ia menepis anggapan yang menyebutkan kampanye dengan menggunakan musik dangdut akan menimbulkan efek elektoral. 

"Ini hanya konsumsi visual. Dangdut itu musik paling ironi. Kontennya itu tentang luka dan sejenisnya. Dangdut adalah satu klaim musik yang lahir di bumi pertiwi. Dia merepresentasikan kegalauan masyarakat tentangg bangsa. Kalau lagi joget itu ironi luntur sejenak. Dan banyak lagi lah," lanjutnya.

Di akhir pernyataannya, Tantan merekomendasikan sebuah buku karya Profesor Andrew Weintraub dari Universitas Pittsburg, Amerika Serikat yang bertajuk Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (KPG 2012). Dalam buku tersebut Andrew menganalisa pesan 307 lagu yang telah dirilis Rhoma Irama. 

Rekomendasi
Tutup