Dua saksi ahli yang dihadirkan yaitu, pakar hukum tata negara dan ilmu perundang-undangan dari Universitas Padjajaran Gde Pantja Astawa, dan ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir.
Sementara untuk saksi meringankan, mantan Ketua DPR itu akan menghadirkan politikus Partai Golkar yang juga menjabat Wakil Ketua MPR, Mahyudin. Novanto mengaku memiliki alasan tersendiri menunjuk Mahyudin sebagai saksi yang meringankan.
“Pak Mahyudin punya sejarah dengan saya saat membangun Partai Golkar pada saat pemilihan dari Pak Aburizal Bakrie,” kata Setya Novanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Kamis, (15/3/2018).
Kendati meminta Mahyudin menjadi saksi meringankan, namun, Novanto mengaku tak pernah bercerita dengan koleganya itu terkait e-KTP. Novanto berharap kehadiran Mahyudin dapat meringankannya dari jerat hukum.
“Tentu harapan saya saksi meringankan ini bisa membantu untuk meringankan atau mempermudah dan bisa jadi pertimbangan bagi JPU dan hakim Tipikor. Itulah harapan saya,” ungkap Novanto.
Infografis (era.id)
Sementara itu, Mahyudin mengaku bahwa dirinya bersedia menjadi saksi yang meringankan untuk terdakwa Novanto karena memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Meski begitu, dirinya akan tetap obyektif dalam memberikan kesaksiannya dalam persidangan.
“Saya kira sebagai warga negara kalau diminta oleh yang bertujuan keadilan bagi masyarakat saya kira mau saja. Saya tetap menyampaikan kesaksian saya yang obyektif,” ungkap Mahyudin sebelum persidangan.
Sebagai informasi, dalam surat dakwaannya, Novanto diduga melakukan perbuatan memperkaya diri saat menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar.
Novanto disebut menerima uang sebesar 7,3 juta dolar AS melalui Made Oka Masagung dan Irvanto Hendra Pambudi yang merupakan keponakannya. Akibat kasus korupsi tersebut, negara mengalami kerugian sebesar Rp2,3 triliun dari total nilai proyek sebesar Rp5,3 triliun.