"Memberikan rasa adil kepada warga negara itu tanggung jawab kita semua. Jadi motivasi saya, ya saya diminta. Saya jelaskan apa yang saya ketahui tentang kehidupan sehari-hari Pak Nov," ungkap Mahyudin di Pengadilan Tipikor, Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Kamis, (15/3/2018).
Politikus Partai Golkar ini menyebut Fraksi di DPR bukanlah alat kelengkapan dewan. Sehingga setiap pembahasan dilakukan di Komisi terkait, termasuk dalam kasus e-KTP.
"Jadi logikanya, kalau memang harus diproses hukum karena ada pelanggaran, ya mestinya yang di Komisi, Banggar, dan pemerintah yang harus bertanggung jawab," jelasnya.
Kendati ditunjuk sebagai saksi meringankan, dia enggan membahas terkait ada atau tidaknya aliran dana korupsi e-KTP yang masuk ke kantong bekas Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Dia bahkan tidak mengetahui adanya aliran dana tersebut.
Infografis (era.id)
"Nanti pengadilan yang buktikan benar enggak menerima. Itu kan baru dugaan. Kita buktikan saja dulu. Kalau emang ada kan kita enggak bisa membela juga. Korupsi di Indonesia ini harus dituntaskan. Tidak boleh ada lagi," ujarnya.
Selain Mahyudin, Novanto juga menghadirkan ahli dalam persidangan. Dua ahli yang dihadirkan yaitu, pakar hukum tata negara dan ilmu perundang-undangan dari Universitas Padjajaran Gde Pantja Astawa, dan ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir.
Sebagai informasi, dalam surat dakwaannya, Novanto diduga melakukan perbuatan memperkaya diri saat menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar. Novanto disebut menerima uang sebesar 7,3 juta dolar AS melalui Made Oka Masagung dan Irvanto Hendra Pambudi yang merupakan keponakannya. Akibat kasus korupsi tersebut, negara mengalami kerugian sebesar Rp2,3 triliun dari total nilai proyek sebesar Rp5,3 triliun.