"Kalau saya berpendangan, (calon kepala daerah yang menjadi tersangka) tidak boleh diganti. Supaya para pengusung lebih berhati-hati ke depan. Biar ini jadi pelajaran bagi kita semua, bukan hanya partai politik, bukan hanya penyelenggara pemilu, tapi juga stakeholder yang lain atas proses dan kejadian ini," ucap Arief di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Jumat (16/3/2018).
Arief berpendapat, jika Peraturan KPU (PKPU) direvisi maka akan dianggap melanggar norma Undang-Undang. Hal tersebut berpotensi dikalahkan saat pengujian perubahan Undang-Undang.
"Kalau KPU merevisi UU, KPU harus melihat dulu apakah itu dianggap keluar dari norma UU atau tidak. Kalau dinyatakan keluar dari norma, KPU akan gampang dikalahkan ketika judicial review PKPU, kalau kita tidak punya argumentasi yang kuat. Jadi, kita belum mengambil sikap," jelas Arief.
"Makanya, kami hanya memberi dua penjelasan tentang berhalangan tetap itu meninggal dunia atau secara permanen dia tidak dapat tugas, tapi tetap harus didukung surat keterangan dari rumah sakit," lanjutnya.
Baca Juga : KPK Usul Ada Perppu untuk Cakada Bermasalah
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengusulkan revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2015. Menurutnya, KPU dapat merevisi penjelasan terkait berhalangan tetap tersebut dengan menambahkan keterangan sebagai tersangka karena OTT dan pengembangan perkara oleh KPK.
"Sebagai jalan tengah untuk situasi yang kami anggap luar biasa saat ini makanya kami mengusulkan berhalangan tetap bisa diterjemahkan sebagai ditahan karena ott atau pengembangan perkara oleh kpk. Jadi dilimitasi saja di situ agar (calon yang menjadi tersangka) tidak dipilih," jelasnya.