"Sering dipelintir, sering diasumsikan kita membentengi diri dengan perundang-undangan, DPR antikritik, DPR mau menang sendiri, antidemokrasi," kata Bamsoet di Kedai Kwang Koan Kopi Johnny, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Minggu, (18/3/2018).
Ia mencontohkan misalnya DPR ingin mengklarifikasi pihak pemerintah terkait aduan warga. Namun jika pihak yang dipanggil tidak datang, DPR tidak dapat melakukan apapun. Dengan berlakunya pasal tersebut di UU MD3, DPR dapat melakukan pemanggilan paksa.
"Dalam perjalanan yang kita laksanakan beberapa tahun ini, masalah yang timbul justru ketika pemerintah dipanggil tidak hadir apakah kena sanksi? Tidak ada. Ketika rakyat mengadukan tanahnya diserobot, ada ketidakadilan, kemudian kami panggil pemerintah tidak datang. Bisa apa DPR? Tidak bisa apa-apa. Jadi kami butuh UU yang bisa memaksa agar beliau datang. Itulah inti dalam UU MD3 panggil paksa," jelas Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, dalam urusan pemanggilan paksa sudah dijelaskan dalam UU MD3 sejak lama. Namun penambahan kalimat mewajibkan bagi polisi ditambahkan bila mitra yang dipanggil mangkir.
"Dalam sejarah panggil paksa bukan hal baru, sejak UU MD3 sudah ada panggil paksa dicantumkan saja jika mitra yang dipanggil tidak datang. Nah makanya kita tambahkan kata ‘wajib’. Polisi wajib melaksanakan permintaan DPR, jadi kata wajib itulah yang baru," papar Bamsoet.
Sebelumnya, DPR melalui rapat paripurna mengesah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Sejumlah pasal dinilai kontroversial sehingga belum ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Sejumlah aktivis juga mengugat UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang digugat yakni Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.