Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, dalam pemberian uang suap tersebut, para pelaku menggunakan istilah 'uang pokir'.
"Jadi komunikasinya mengatakan yang diminta adalah uang pokir atau uang pokok-pokok pikiran untuk memuluskan pembahasan dan pengesahan APBDP tahun 2015 silam," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, (21/3/2018).
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menambahkan, penyidik KPK punya fakta dan alat bukti berupa keterangan saksi, surat, dan barang elektronik soal penerimaan uang pimpinan dan anggota DPRD Kota Malang.
"Tersangka unsur pimpinan dan Anggota DPRD malang 2014-2019 menerima fee dari MA selaku Wali Kota periode 2013-2018 bersama-sama tersangka JES, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Pembangunan Pemkot Malang tahun 2015 untuk memuluskan pembahasan APBD-P Pemerintah Kota Malang Tahun Anggaran 2015," jelas Basaria.
Diduga pimpinan serta anggota DPRD tersebut menerima pembagian fee dari total keseluruhan yang diterima tersangka M Arief Wicaksono (MAW) sebesar Rp700 juta, dari tersangka Jarot Edy Sulistyono. Dari uang itu, Rp600 juta didistribusikan ke anggota DPRD yang lain.
KPK menilai kasus ini dilakukan secara massal karena melibatkan unsur kepala daerah dan jajarannya, serta sejumlah anggota DPRD yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan anggaran dan regulasi secara maksimal.
"Pelaksanaan tugas di satu fungsi legislatif misalnya, untuk mengamankan kepentingan eksekutif justru membuka peluang adanya persekongkolan oleh para pihak untuk mengambil manfaat demi kepentingan pribadi atau kelompoknya," kata Basaria.
Adapun 18 Anggota DPRD Malang yakni Suprapto, HM. Zainudin, Sahrawi, Salamet, Wiwik Hendri Astuti, Mohan Katelu, Sulik Lestyawati, Abdul Hakim, Bambang Sumarto, Imam Fauzi, Syaiful Rusdi, Tri Yudiani, Heri Pudji Utami, Hery Subianto, Ya'qud Ananda Budban, Rahayu Sugiarti, Sukarno, dan H. Abdul Rachman.