Jakarta, era.id - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan ada ahli yang memprediksi Indonesia akan bubar pada 2030 akan salah pengelolaan sumber daya alam dan besarnya utang. Pernyataan Prabowo itu diunggah oleh akun Facebook Partai Gerindra dalam bentuk video berdurasi 1 menit 13 detik.
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, pernyataan Prabowo itu harus direspons positif agar pemerintah Indonesia berbenah. Dia tidak ingin Indonesia bubar seperti Uni Soviet.
"Jadi begini, ini namanya warning ya. Tentu ingin Indonesia lebih dari 1.000 tahun, sampai kiamat kalau perlu tetapi kalau cara memimpin Indonesia seperti sekarang ya bisa kacau," ujar Fadli kepada wartawan di Kantor DPP Partai Gerindra, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (20/3).
Wakil Ketua DPR itu mengungkapkan, masih banyak yang perlu dibenahi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, khususnya dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan menekan utang luar negeri.
"Saya kira yang saat ini udah banyak salah jalan. Seperti masuk jerat utang," ucap Fadli.
Diwawancara terpisah, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai pidato Prabowo soal Indonesia akan bubar pada 2030 bermuatan politik. Dia yakin Prabowo sedang membangun citra sebagai oposisi yang seolah-olah mampu menyelesaikan segudang masalah Indonesia.
"Ini pasti terkait dengan bagaimana positioning harus mulai diambil dalam detik-detik menjelang pilpres. Oposisi harus berani memulai menjual positioning yang lebih ekstrem, ini marketing politik," kata Yunarto, di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (21/3/2018).
Namun demikian, pidato tersebut, dinilai Yunarto tidak akan bisa mendongkrak elektabilitas Prabowo maupun Partai Gerindra. Dia yakin masyarakat sudah jengah dengan isu seperti itu dan lebih tertarik menanggapi isu mikro seperti harga sembako dan lapangan pekerjaan.
"Ini juru bisiknya (Prabowo) masih menggunakan cara-cara lama, salah strategi yang membuat Prabowo kita lihat muncul saja jarang, sekali muncul hanya menggunakan propaganda dengan isu yang menakutkan seperti itu," ujar Yunarto.
Baca Juga : Jokowi: Bedakan Kritik dengan Fitnah
Menurut Yunarto, sebagai oposisi akan lebih efektif jika Prabowo melakukan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang juga dikritik masyarakat, kemudian mencari solusi dan bergerilya menyelesaikan masalahnya.
Langkah seperti itu, kata Yunarto, justru dilakukan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono yang melakukan Tour de Java, mengkritik tidak adanya bantuan langsung tunai (BLT), dan pembangunan infrastruktur yang dinilainya terlalu ambisius.
"Masyarakat lebih mulai mengarah pada isu-isu mikro, isu kenaikan harga bahan pokok, isu itu dibahas oleh SBY, tidak dibahas oleh Prabowo," ujar Yunarto.
Baca Juga : Pak Luhut Enggak Usah Baper
Saat memberi sambutan dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Perindo, di JCC, Senayan, Rabu malam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan perbedaan pendapat adalah biasa. Tapi dia mengingatkan supaya perbedaan pendapat disampaikan dengan sopan santun dan adat ketimuran.
"Tidak saling menghujat dan mencemooh. Tidak pula ada berita bohong dan ujaran kebencian," kata Jokowi.
Selain perbedaan, kritikan di alam demokrasi, kata Jokowi, juga hal lumrah. Dia menyadari kritik sangat dibutuhkan pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja.
Namun, dia meminta kritik yang dilontarkan harus tepat sasaran, diperkuat data supaya tidak menjurus pada fitnah.
"Tapi tolong dong dibedakan kritik dengan mencela, beda itu. Kritik dengan mencemooh, beda itu. Kritik dengan menghujat juga beda. Kritik dengan memfitnah apalagi, juga beda lagi. Kritik dengan menjelek-jelekan, itu juga beda," tutur Jokowi.