"Pernyataan yang secara hukum gegabah dan strategi untuk menjadikan majelis hakim dan penuntut umum tidak fokus untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Novanto)," kata Basarah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/3/2018).
Basarah tak terima. Pasalnya, pernyataan Novanto itu ia anggap hanya berdasar pada ucapan Made Oka Masagung. Waktu itu, Novanto mendengar tentang Puan dan Pramono yang disebut menerima 500 ribu dolar AS.
"Setya Novanto bukan lah orang yang melihat, mendengar, mengalami sendiri peristiwa tersebut, melainkan hanya mendasarkan pada pernyataan orang lain yang juga tersangka dalam kasus korupsi e-KTP," ujar Basarah.
Basarah menilai, pernyataan tersebut tidak dapat membuktikan apapun. Basarah pun menyinggung Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang secara substantif menyebut bahwa sepanjang tidak dilengkapi dan didukung dengan alat bukti lainnya, maka suatu pernyataan tidak bisa menjadi alat bukti.
"Dalam hukum, acara pidana kesaksian Setya Novanto ini disebut sebagai testimoniun de auditu, yaitu kesaksian karena mendengar dari orang lain yang tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti langsung," terang Basarah.
Basarah melanjutkan, sekali pun pernyataan Novanto dikualifikasikan sebagai keterangan terdakwa, maka, meskipun keterangan terdakwa merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, namun, dibandingkan alat bukti lainnya seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, atau petunjuk, maka alat bukti keterangan terdakwa bukan lah alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Baca Juga : Novanto Buka Nama-nama Penerima Uang e-KTP
Lagipula, menurut Basarah, keterangan terdakwa itu tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. Artinya, jaksa penuntut umum dan persidangan tetap mempunyai kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain.
"Dengan demikian keterangan terdakwa tidak dapat dianggap sebagai kebenaran materiel tanpa dikuatkan dengan alat bukti yang lain," kata Anggota Komisi Hukum DPR itu.
Pertanyakan kredibilitas Novanto
Menurut Basarah, kredibilitas seseorang yang memberikan keterangan di pengadilan juga sangat mempengaruhi bobot kebenaran keterangan yang diberikannya. Sedangkan Novanto selama ini menurutnya adalah orang yang dikategorikan tidak kooperatif dalam menghadapi kasus hukum yang menimpanya.
Hal itu dibuktikan dari adanya upaya Novanto untuk mangkir dari panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berusaha kabur saat dijemput penyidik KPK, hingga berbelit-belit dalam persidangan. Lebih aneh lagi, imbuh Basarah, Novanto tidak mengakui melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, namun justru mengajukan diri menjadi justice collaborator (JC).
Baca Juga : Kicauan Novanto, Fahri: Another Sensation
"Kredibilitas terdakwa yang demikian tentu akan menyebabkan keterangan yang diberikannya di persidangan termasuk tiba-tiba menyebut pihak lain menerima aliran dana hanyalah bagian strategi untuk lolos dari jerat hukum dan mengaburkan perkara yang menjeratnya," ujar Basarah.
Sebelumnya, Novanto membuat pernyataan mencengangkan dengan menyebut politikus PDIP Puan Maharani dan Pramono Anung menerima uang masing-masing 500 ribu dolar AS. Pernyataan itu ia gelontorkan saat menghadapi sidang lanjutan dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (22/3/2018).
(Infografis/era.id)