'Aksi Koboi' Novanto di Ruang Sidang
'Aksi Koboi' Novanto di Ruang Sidang

'Aksi Koboi' Novanto di Ruang Sidang

By Yudhistira Dwi Putra | 23 Mar 2018 15:10
Jakarta, era.id - Setya Novanto kembali ke panggung dramanya. Setelah babak panjang pelarian dan kepura-puraan, kini Novanto kembali menyita perhatian lewat kesaksiannya dalam sidang korupsi e-KTP, Kamis siang (22/3). Sejumlah nama politikus dan pejabat negeri disebut Novanto ikut terima aliran dana e-KTP. 

Sebut saja Menko PMK Puan Maharani, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, anggota Komisi II DPR Chairuman Harahap, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Melchias Markus Mekeng, anggota Komisi VII Tamsil Linrung, hingga Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey.

Di antara nama-nama itu, Puan dan Pram paling jadi sorotan. Soalnya, baru kali ini nama dua politikus PDI Perjuangan itu muncul dalam kasus e-KTP. Sebelum kesaksian Novanto, Puan dan Pram bersih dari sangkaan apapun terkait e-KTP.

Soal tuduhan Novanto, Pram langsung berkomentar. Pram kebingungan karena namanya ujug-ujug disebut Novanto. Pram mengaku tak pernah menerima uang apa pun terkait e-KTP. Pram punya dugaan, apa yang dilakukan Novanto hanyalah cara mencari perhatian KPK. Supaya lemabaga itu mengabulkan permohonannya menjadi justice collaborator (JC).

"Jika pencatutan nama hanya untuk mencari JC untuk meringankan hukuman, harusnya Setnov tidak asal bicara mencatut nama-nama," kata Pramono yang ditemui wartawan di Kompleks Istana, Kamis (22/3).

Menimbang kesaksian Novanto

Soal kesaksian Novanto ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun ikut terkejut. Sebab, tiba-tiba saja Novanto menyebut nama Puan dan Pram dalam persidangan ini. Tapi, apa pun temuannya, JPU berjanji akan profesional.

Baca: Gara-gara Novanto, Banteng Seruduk Mercy

Bagi PDIP, tudingan terhadap dua kadernya itu adalah sebuah tuduhan berat. Wakil Sekjen PDIP, Ahmad Basarah bahkan menyebut Novanto tak layak dijadikan saksi dalam kasus ini. Pernyataan Novanto hanya berdasar ucapan Made Oka Masagung. Dengan kata lain, Novanto bukanlah sumber primer.

"Setya Novanto bukan lah orang yang melihat, mendengar, mengalami sendiri peristiwa tersebut, melainkan hanya mendasarkan pada pernyataan orang lain yang juga tersangka dalam kasus korupsi e-KTP," ujar Basarah.

Mari lihat dari kacamata hukum positif tentang aksi Novanto ini. Pasal 184 ayat (1) KUHP, secara substansif menyebut bahwa sepanjang tidak dilengkapi dan didukung dengan alat bukti lainnya, maka sebuah pernyataan tidak bisa menjadi alat bukti.

Baca: Drama Baru Novanto Dimulai dengan 'Tembakan'

"Dalam hukum, acara pidana kesaksian Setya Novanto ini disebut sebagai testimoniun de auditu, yaitu kesaksian karena mendengar dari orang lain yang tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti langsung," terang Basarah.

Basarah menyambung, meski hukum positif menjamin pernyataan seorang terdakwa sebagai sebuah fakta persidangan, namun ada beberapa hal lain yang diposisikan lebih tinggi, yakni keterangan saksi, ahli, surat atau pun petunjuk. Dengan fakta tersebut, maka alat bukti berupa keterangan terdakwa tidaklah mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.

"Dengan demikian keterangan terdakwa tidak dapat dianggap sebagai kebenaran materiel tanpa dikuatkan dengan alat bukti yang lain," kata Anggota Komisi Hukum DPR itu.

Ilustrasi (era.id)

Rekomendasi
Tutup