Telenovanto di Kasus e-KTP

| 24 Mar 2018 12:30
Telenovanto di Kasus e-KTP
Terdakwa korupsi e-KTP Setya Novanto (Sandi/era.id)
Jakarta, era.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya cerita panjang menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Keterlibatan Novanto dalam kasus ini santer berembus saat sidang perdana dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Irman dan Sugiharto.

Dalam surat dakwaan dua mantan pejabat Kemendagri itu, Novanto disebut berperan mengatur nilai anggaran proyek nasional tersebut hingga mencapai Rp5,9 miliar.

Saat surat dakwaan milik Irman dan Sugiharto dibacakan jaksa penuntut umum KPK dalam sidang perdana, tampak jelas keterlibatan Novanto. Dalam surat dakwaan itu disebutkan pada Februari 2010, Novanto yang duduk sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar bertemu dua pejabat Kemendagri Irman-Sugiharto, Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni, dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong di Hotel Gran Melia, Jakarta. Waktu itu, Novanto menyatakan dukungannya terkait pembahasan anggaran proyek penerapan e-KTP.

Pertemuan lantas dilanjutkan di ruang kerja Novanto di lantai 12 Gedung DPR. Saat itu, Andi Narogong meminta kepastian dukungan dan Novanto berjanji akan berkoordinasi dengan pimpinan fraksi lain.

Saat memulai pembahasan RAPBN tahun anggaran 2011 termasuk anggaran proyek penerapan e-KTP, Andi Narogong lantas menemui Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin. Pertemuan itu dilakukan sekitar Juli-Agustus 2010.

“Karena anggota DPR RI tersebut dianggap sebagai representasi Partai Demokrat dan Partai Golkar yang dapat mendorong Komisi II DPR RI menyetujui anggaran proyek penerapan KTP elektronik,” isi dakwaan KPK terkait tujuan pertemuan tersebut.

(Infografis/era.id)

Beberapa kali pertemuan pun digelar dan akhirnya DPR sepakat anggaran proyek sesuai dengan grand design 2010 yaitu sebesar Rp5,9 triliun.

Dari total anggaran itu, 51 persen atau sekitar Rp2.662 triliun rencananya akan digunakan sebagai belanja modal pembiayaan proyek. Sementara sisanya 49 persen atau sejumlah Rp2.558 triliun dibagikan kepada sejumlah pihak yang diatur Andi Narogong, Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin.

Sebanyak Rp365,4 miliar dibagikan kepada Kemendagri, Rp261 miliar untuk Komisi II DPR, Rp574,2 miliar untuk Setya Novanto, Rp574,2 untuk Anas Urbaningrum dan Nazaruddin, Rp783 miliar sebagai keuntungan bagi pelaksana atau konsorsium 

Novanto membantah

Saat hadir sebagai saksi dalam persidangan Irman dan Sugiharto, Novanto membantah terlibat dalam proyek yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun itu. Novanto mengaku, sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR tak mengetahui adanya pembagian uang seperti yang tertulis dalam dakwaan Irman dan Sugiharto.

“Saya tidak tahu, saya tidak pernah tahu,” kata Novanto kala itu.

Pada 17 Juli 2017, KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP. Dia diduga ikut mengatur agar anggaran sebesar Rp5,9 triliun tersebut disetujui anggota DPR RI. Selain itu, Novanto juga diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP tersebut bersama Andi Narogong.

(Infografis/era.id)

Pura-pura sakit

Usai menetapkan Novanto sebagai tersangka, KPK lantas memanggilnya untuk diperiksa. Namun, Novanto--yang tengah menjabat Ketua DPR--saat itu mangkir dengan alasan sakit. Surat ketidakhadirannya diantar Sekjen Partai Golkar Idrus Marham serta kuasa hukum Novanto.

Selain itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga mengirim surat meminta KPK menunda proses penyidikan terhadap Novanto hingga ada putusan praperadilan. Surat yang dikirim Fadli menggunakan kop surat DPR sehingga menuai protes.

Praperadilan dikabulkan

Setelah ditetapkan menjadi tersangka, Novanto mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan Novanto. 

Hakim Cepi saat itu membatalkan penetapan Novanto sebagai tersangka dan meminta KPK menghentikan penyidikan terhadap Novanto. Alasan tidak sahnya penetapan tersangka, kata Cepi, karena dilakukan di awal penyidikan, bukan diakhir. Selain itu alat bukti yang digunakan untuk menjerat Novanto dianggap tak sah karena sudah digunakan untuk menjerat dua pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.

Kembali ditetapkan tersangka

Meski Novanto menang praperadilan, KPK tidak habis cara dan kembali menetapkannya sebagai tersangka. Penetapan tersangka untuk kedua kali pada Novanto disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, 11 November 2017.

"Setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup dan melakukan gelar perkara akhir Oktober 2017, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN,” kata Saut.

KPK menduga Novanto korupsi bersama pengusaha Andi Narogong dan dua pejabat Kemendagri. Selanjutnya, KPK pun tancap gas memeriksa saksi-saksi terkait kasus tersebut.

Setelah kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka, KPK mendatangi rumahnya di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu, (15/11/2017). Kunjungan ini dilakukan karena Novanto mangkir pemeriksaan KPK beberapa kali.

Namun, Novanto menghilang, tidak ada di rumahnya. Dia seolah tahu penyidik KPK ingin menjemput dan menahannya. Pada hari yang sama, Novanto mengajukan praperadilan di PN Jakarta Selatan. 

Drama kecelakaan

Pada 16 November 2017, Novanto mengalami kecelakaan mobil hingga terluka dan dibawa ke RS Medika Permata Hijau, Jakarta Selatan. Saat kecelakaan terjadi, Novanto berada dalam mobil Fortuner Hitam bersama seorang kontributor televisi nasional, Hilman Mattauch, dan seorang ajudannya. 

Tidak lama setelah mobil yang ditumpangi Novanto menabrak tiang listrik, kuasa hukumnya, Fredrich Yunadi, menjelaskan kliennya ditangani dokter di unit gawat darurat.

“Ajudan kasih tahu, ‘Pak kita kecelakaan mobil, kaca depan mobil hancur, copot, beliau (Novanto) luka langsung pingsan,” kata Fredrich kala itu.

Dibantarkan

KPK lantas mengeluarkan surat penahanan terhadap Novanto. Dia lantas ditahan selama 20 hari di Rutan Negara Klas I Jakarta Timur Cabang KPK. Namun, saat itu Novanto tak langsung ditahan melainkan dibantarkan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk mendapatkan penanganan medis. Setelah menjalani perawatan, kemudian Novanto dipindahkan ke Rutan KPK.

Pemeriksaan demi pemeriksaan dilakukan hingga akhirnya berkas Setya Novanto pun dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jalani Sidang Perdana di Pengadilan Tipikor

Drama berlanjut di Pengadilan Tipikor, saat itu Setya Novanto mengaku dirinya sakit diare. Dia mengaku lemas bahkan seakan tak mampu berdiri tegak dan jalani persidangan. Namun, sebagai persidangan tetap berjalan, Ketua Majelis Hakim tetap mempersilakan jaksa penuntut umum membacakan dakwaannya.

Setelah, itu drama-drama baru terus bermunculan. Seperti, terungkapnya dugaan perintangan penyidikan kasus e-KTP saat Novanto dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Tak hanya itu, persidangan Setya Novanto pun seringkali menyerempet nama sejumlah petinggi seperti saat itu di dalam buku hitam Novanto terdapat tulisan ‘Ibas’, ‘Nazarudin’ dan ‘Justice Collaborator’ serta nominal uang 500.000 dolar AS.

Sebelum ramai buku hitam Novanto, saksi dalam kasus e-KTP pun sempat menyebut nama Susilo Bambang Yudhoyono. Nama itu disebut mantan Wakil Ketua Banggar DPR Mirwan Amir dalam sidang e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto.

Dalam kesaksiannya, Mirwan mengaku, pernah menyarankan SBY untuk menghentikan proyek pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Hal itu karena Mirwan mendengarkan saran yang diberikan rekannya yakni, Yusnan Solihin yang memahami teknis e-KTP. Dia menilai, proyek tersebut bermasalah. 

Namun, menurut Mirwan, presiden keenam ini tetap ingin proyek yang ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp2,3 triliun itu dilanjutkan, meskipun telah mendengarkan saran dari dirinya. Keinginan SBY ini karena ingin proyek e-KTP tersebut dibuat untuk menghadapi pemilu. 

Terakhir, Setya Novanto menyebut nama-nama anggota DPR yang menerima aliran uang panas. Di antaranya, Chairuman harahap, Melchias Markus Mekeng, Tamsil Linrung dan Olly Dondokambey.

"Pertama adalah untuk Komisi II Pak Chairuman (Chairuman Harahap) sejumlah 500.000 dolar AS, untuk Ganjar sudah dipotong oleh Chairuman, dan untuk kepentingan pimpinan Banggar disampaikan juga ke Melchias (Markus) Mekeng 500, Tamsil Linrung 500, Olly Dondokambey 500," kata Novanto, Kamis, (22/3/2018).

Menurut Novanto, berdasarkan laporan Andi Narogong, uang tersebut diberikan kepada anggota DPR melalui keponakannya--yang sudah jadi tersangka juga-- Irvanto Hendra Pambudi. Irvanto menjadi kurir agar mendapat pekerjaan dalam proyek nasional tersebut.

Tak hanya memberi uang kepada beberapa anggota DPR, saat ada pertemuan di rumah Novanto, ia menyebut Made Oka Masagung melapor adanya beberapa pemberian uang kepada Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDIP Pramono Anung. 

"Waktu itu ada pertemuan di rumah saya yang dihadiri oleh Oka dan Irvanto, (uang) diberikan ke Puan Maharani 500.000 dolar AS dan Pramono Anung 500.000 dolar AS," jelas Novanto.

 

Rekomendasi