Kegaduhan Tak Berkesudahan

| 26 Mar 2018 06:56
Kegaduhan Tak Berkesudahan
Ilustrasi (Arno Mahendra/era.id)
Selamat bergabung dalam artikel berseri Era Kebebasan Semu. Dalam tulisan perdana ini, kami akan mengulas soal kegaduhan yang dibuat dua tokoh politik senior nasional, Amien Rais dan Prabowo Subianto, serta Kisah sederet orang yang terjerat hukum karena pendapat dan komentarnya. 

                                                                                         * * *

Jakarta, era.id - Dua tokoh politik senior nasional sedang disoroti karena melontarkan komentar yang memicu kegaduhan. Yang pertama, mantan Ketua MPR yang juga tokoh reformasi, Amien Rais dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Amien berkomentar soal program pembagian sertifikat tanah yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Amien, program Jokowi itu cuma tipu-tipu alias ngibul.

"Ini pengibulan. Waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektare. Tetapi, ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu, seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?!" kata Amien dalam diskusi Bandung Informal Meeting di Bandung, Minggu (18/3). 

Komentar Amien ini langsung bikin gaduh Istana. Menteri Koordinator Bidang Maritim (Menko Maritim), Luhut Binsar Panjaitan menyerang balik Amien saat berpidato di Gedung BPK, esokan harinya. Luhut menyebut komentar Amien Rais sebagai hal yang tak berdasar. 

"Jangan asal kritik saja. Saya tahu track record-mu kok. Kalau kau merasa paling bersih, kau boleh ngomong. Dosamu banyak juga, kok. Ya sudah, diam saja lah. Tapi jangan main-main, kalau main-main kita bisa cari dosamu, kok. Emang kau siapa?!" sosor Luhut.

Tak hanya Istana, atau pun Amien dan Luhut. Media sosial pun dibuat ramai oleh keributan dua tokoh tersebut. Kata kunci pengibulan dan Amien Rais bahkan sempat jadi topik terpopuler di jagat media sosial.

Kegaduhan media sosial

Keributan di media sosial macam begini bukan kali ini saja terjadi. Kegaduhan tak berkesudahan di media sosial pun selalu jadi bahasan menarik. Sejumlah catatan menunjukkan bahwa media sosial adalah minyak paling panas untuk menyulut keributan dan keribetan.

Pada 2017 lalu, musisi yang dahulu sempat menjadi idola saya, Ahmad Dhani pernah juga bikin kontroversi di media sosial. Kala itu, lewat kicauannya di Twitter, Dhani menyebut seglintir orang yang menjadi pendukung dari seseorang yang ia sebut telah menistakan agama sebagai bajingan yang perlu diludahi wajahnya.

Tak hanya bikin kontroversi. Cuitan Dhani pun membuatnya dilaporkan oleh Jack Lapian, Sekretaris Jenderal Cyber Indonesia. Dhani dilaporkan atas tuduhan pelanggaran Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45a Ayat 2 Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

Mundur ke tahun 2014, seorang perempuan bernama Florence Sihombing juga pernah diperkarakan secara hukum karena kegaduhan yang ia buat di media sosial.

Saat itu, Florence mengungkapkan curahan hatinya lewat postingan Path soal Yogyakarta dan masyarakatnya. Akibat postingan itu, Florence divonis dua bulan penjara atas pelanggaran Pasal 27 Ayat 3 UU ITE Juncto Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.

Terakhir dan yang paling ramai memicu kekisruhan adalah kasus Buni Yani. Pada 2016, Buni Yani dijadikan tersangka karena mengunggah video pidato kontroversial mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu.

Atas unggahan itu, Buni disebut dianggap telah melakukan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA. Pada November 2017 lalu, Buni divonis 1,5 tahun penjara atas pelanggaran Pasal 28 Ayat 2 UU/11 tentang ITE Juncto Pasal 45 Ayat 2 UU 11/2008 tentang ITE.

Selain kekisruhan yang dibuat tiga orang di atas, persamaan lain antara ketiganya ada pada landasan hukum yang menjerat mereka, yakni UU ITE.

Terlepas dari proses hukum ketiganya, UU ITE sejatinya adalah persoalan lain yang kerap memicu kontroversi tersendiri. Kami serius soal UU ITE yang bermasalah, dan bahwa ini tak ada hubungannya dengan Buni Yani, Florence Sihombing, apalagi Ahmad Dhani.

Pelaporan yang menjadikan UU ITE sebagai landasan hukum, kenyataannya memang kerap bermasalah. Pijakan unsur pidana dalam UU ITE sering banget memicu perdebatan karena dirasa kurang relevan.

Selain itu, jelas. Masalah subjektivitas jadi ombak besar yang siap menggulung siapa pun yang berselancar dengan pendapat-pendapat dan komentarnya di media sosial. Tanpa tedeng aling-aling dan keterbukaan hukum, pasal karet UU ITE kerap memenjarakan orang lewat tafsir-tafsir sepihak.

Sumpah, kami sepakat soal kesopanan bermedia sosial. Tapi, sungguh, subjektivitas dalam penerapan UU ITE adalah satu hal yang harus dibenahi.