Harimau Mengaum, Kafilah Berlalu

| 27 Mar 2018 06:27
Harimau Mengaum, Kafilah Berlalu
Ilustrasi (Yuswandi, Ira, Wildan/era.id)
Masih bagian dari artikel berseri Era Kebebasan Semu. Setelah membahas alasan kenapa orang bisa dengan mudah meneruskan kabar-kabar pemicu kegaduhan lewat artikel Stereotip jadi Alasan Sebar Kabar Viral, enggak lengkap rasanya kalau enggak bahas alasan para pemicu kegaduhan itu sendiri. Dalam artikel ini, kami angkat kisah Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang sempat bikin heboh negeri ini dengan pernyataannya, tentang prediksinya bahwa tahun 2030 adalah titik kehancuran bangsa. Kami ajak kalian melihat berbagai fakta dan kemungkinan di balik pernyataan Prabowo, termasuk memperhitungkan akurasi prediksi Prabowo soal bubarnya bangsa ini.

Jakarta, era.id - Berdasar sejumlah kajian, stereotip adalah salah satu alasan paling utama kenapa orang-orang mudah menyebar kabar viral, meneruskan satu kegaduhan kepada banyak orang. Lalu, apa kabar dengan mereka yang jadi sumber dari segala kegaduhan itu? Mereka, para 'harimau yang mengaum', menyuarakan pendapat dan komentarnya?

Amien Rais misalnya, politikus PAN dan tokoh reformasi yang menyebut program bagi-bagi sertifikat tanah Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pembohongan publik. Entah apa dasar omongan Amien. Kita pun enggak tahu seberapa jauh kebenaran dalam omongan Amien itu. Yang jelas, Istana dibuat gerah tempo hari.

Menteri Koordinator Bidang Maritim (Menko Maritim), Luhut Binsar Panjaitan menyerang balik Amien. Luhut kesal betul. Ia menganggap Amien telah menuduh pemerintah tanpa data, apalagi bukti. "Jangan asal kritik saja. Saya tahu track record-mu kok. Kalau kau merasa paling bersih, kau boleh ngomong. Dosamu banyak juga, kok. Ya sudah, diam saja lah. Tapi jangan main-main, kalau main-main kita bisa cari dosamu, kok. Emang kau siapa?!" sosor Luhut.

Kalau mau dipikir, mungkin Luhut ada benarnya. Bahwa sebuah kritik harus didasari pada fakta dan data. Kalau asal bunyi, repot juga. 

Soal asal bunyi ini, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto juga sempat bikin gaduh lewat pernyataannya yang menyebut Indonesia akan 'bubar' pada 2030. "Di negara lain, mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030. Bung! Mereka ramalkan kita ini bubar, elite kita ini merasa bahwa 80 persen tanah seluruh negara dikuasai satu persen rakyat kita, enggak apa-apa."

Seperti apa yang disampaikan Amien. Pernyataan Prabowo ini pun cukup membingungkan. Prabowo bisa saja benar. Tapi, tentu saja, tanpa data, pernyataan Prabowo ini pun bisa saja disebut ngawur belaka.

Dua contoh di atas adalah gambaran bagaimana komentar tanpa dasar dapat memicu kegaduhan. Dalam kisah Prabowo, komentarnya bahkan memancing ketakutan. Ya, siapa juga yang enggak parno ketika negaranya disebut bakal bubar, macam Jerman Timur atau Yugoslavia, gitu? Come on, dude!!!

Terlepas dari kisah dua tokoh di atas, fenomena penebar gaduh dan ketakutan ini perlu kita tangkap sebagai kenyataan yang betul-betul terjadi dalam peradaban kita. Lalu, apa yang jadi alasan banyak orang kerap bikin kisruh gitu?

Our Brand is Crisis

Kami punya preseden soal ini. Kamu pernah nonton film Our Brand is Crisis? Yak, film dokumenter yang mengadaptasi peristiwa pemilihan Presiden Bolivia tahun 2002 ini menceritakan kisah Pedro Castillo, seorang politisi enggak populer yang tengah menjajaki pemenangan dalam pemilihan kala itu.

Dikisahkan, Castillo merekrut seorang konsultan politik dari Amerika Serikat, Jane Bodine (Sandra Bullock) untuk memolesnya. Tujuannya, tentu memenangi pemilihan.

Singkat cerita, Bodine merasa buntu. Pikirnya, Castillo enggak mungkin memenangi pemilihan. Namun, di tengah kebuntuannya, eureka! Sebuah ide muncul di kepala Bodine. Memanfaatkan kondisi politik yang dipenuhi demonstrasi dan berbagai isu keuangan, perekonomian hingga segresi penduduk lokal, Bodine pun memutuskan untuk menjadikan krisis sebagai branding Castillo.

Persoalan-persoalan di atas dikemas Bodine dengan citra bahwa Bolivia sedang krisis. Ketika ketakutan itu menyebar, Bodine pun menempatkan Castillo sebagai juru selamat atau 'The Great Man' yang konon dapat menyelesaikan berbagai masalah untuk menyelamatkan Bolivia.

Janji-janji populis plus kutipan-kutipan tokoh dunia yang dikumandangkan Castillo berhasil membangkitkan optimisme publik yang ujungnya jadi daya ungkit elektoral Castillo. Akhirnya pun manis buat Castillo, karena pemilihan saat itu akhirnya ia menangi.

Andai pernyataan Prabowo adalah adaptasi dari "Our Brand is Crisis", maka kini kita tengah masuk pada sepertiga cerita. Dan jika kami salah karena mengangkat sebuah film sebagai pembanding --walaupun sejatinya film itu pun diangkat dari situasi nyata di Bolivia, maka salahkan juga diri kita yang sempat dikuasai ketakutan atas pidato Prabowo.

Lagipula, pernyataan Prabowo pun sejatinya merujuk pada novel karangan P.W. Singer dan August Cole yang berjudul A Novel of The Next World War: Ghost Fleet (2015). Tapi tentu Prabowo enggak sesembarangan itu. Kami yakinkan kamu, andai Cole dan Singer adalah peramal, maka mereka adalah peramal yang amat kredibel.

Sebab, baik Singer maupun Cole, keduanya adalah ilmuwan politik. Cole menguasai kebijakan luar negeri dan strategi keamanan AS, sementara Singer adalah pakar pertahanan yang pernah bekerja di lembaga think tank kenamaan, Brookings Institution.

Lalu, apa iya Indonesia krisis?

Mari kita tengok data Fragile State Index (FSI), sebuah wadah studi kebijakan yang tiap tahunnya rutin merilis prediksi soal kemungkinan negara mana saja yang terancam bubar.

Menurut data terbaru tahun 2017, dari 178 negara, Indonesia berada di peringkat 94 negara paling berpotensi bubar. Di posisi pertama, Sudan Selatan jadi negara paling rawan. Sedang negara paling aman adalah Finlandia.

Setidaknya ada empat komponen yang digunakan FSI untuk menilai potensi itu, yakni komponen kohesi, ekonomi, politik, dan sosial. Dari empat komponen itu, FSI memecah menjadi 12 indikator, yaitu Aparat Keamanan, Faksionalisasi Elite, Kemarahan Kelompok dalam Masyarakat, Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Merata, Taraf Brain Drain dan Jumlah Warga yang Meninggalkan Negara, Legitimasi Negara, Layanan Publik, HAM dan Penegakan Hukum, Tekanan Demografi, Jumlah Pengungsi, hingga Intervensi Asing.

Lalu, ada juga kajian lain yang dirilis PricewaterhouseCoopers (PwC) pada September 2017 lalu. Lewat laporan berjudul "The Long View, How Will The Global Economic Order Change by 2050", perekonomian Indonesia menunjukkan rapor yang cukup oke. Malahan, PwC memprediksi perekonomian Indonesia akan ada di peringkat lima besar dunia pada tahun 2030. Di tahun yang kata Prabowo jadi titik nadir bangsa Indonesia, PwC memperkirakan PDB Indonesia pada tahun itu mencapai 5.424 miliar USD.

Baiklah, cukup! Soal harus kepada siapa kamu percaya, itu terserah. Yang jelas, enggak seharusnya kita dibuat tunduk dengan begitu mudahnya pada ketakutan yang disebar oleh para harimau yang mengaum.

Harimau mengaum, kafilah berlalu.

Infografis (Hilda/era.id)