Perilaku Asal Berujung Pasal

| 14 Jul 2018 18:10
Perilaku Asal Berujung Pasal
Ilustrasi (Arno Mahendra/era.id)
Jakarta, era.id - Situasi sudah mereda sekarang. Masyarakat enggak lagi paranoid memikirkan kondisi bangsa yang sempat diramalkan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto bakal bubar pada 2030. Tapi, tentu Prabowo bukan satu-satunya sumber kegaduhan di dunia ini. Di antara kita, ribuan masyarakat, puluhan kawan atau belasan anggota keluarga kita pun berpotensi jadi pemicu kegaduhan.

Kalau Prabowo yang seorang tokoh mengungkapkan pandangannya di atas podium dan didengar banyak orang, kita pun bisa, menciptakan podium virtual lewat akun-akun media sosial kita. Andai enggak didengar pun, seenggaknya gagasan dan pendapat kita akan dibaca, kok.

Tapi harus hati-hati, lho! Baru-baru ini, pemain sinetron Lyra Virna tersandung kasus hukum akibat posting-an media sosial yang berisi ungkapan kekecewaannya pada sebuah layanan penyedia jasa perjalanan ibadah. Merasa nama baiknya dilecehkan, biro perjalanan ibadah itu pun melaporkan Lyra ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.

Baik, cukup sampai di sana. Kami enggak mau terjebak pada kasus ini terlalu dalam. Karena sejatinya Lyra hanya bagian kecil dari fenomena doyannya masyarakat posting status, fenomena yang justru lebih krusial untuk kita dalami.

Dalam kajian sosiologi, fenomena doyan posting ini dipicu oleh karakteristik media sosial yang menyediakan ruang berekspresi yang begitu terbuka. Selain itu, sifat media sosial yang mengedepankan interaksi virtual menyebabkan berkurangnya intensitas interaksi manusia secara fisik.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM),  Soeprapto mengatakan, kondisi itu sedikit banyak memengaruhi pola komunikasi para pengguna media sosial, termasuk cara mereka berekspresi dan berkeluh kesah.

"Saya melihatnya, baik Lyra Virna maupun kebanyakan pengguna medsos, masih banyak yang mengalami 'culture shock,'" kata Soeprapto kepada era.id.

Sayangnya, peradaban ini tengah berada di masa transisi. Sebagian orang telah beradaptasi dengan amat baik dengan pola komunikasi yang baru ini. Tapi, namanya masa transisi, belum semua orang turut dalam gelombang peradaban baru itu. Terbukti dengan banyaknya konflik hukum yang dipicu oleh permasalahan postingan media sosial, seperti Lyra ini.

"Jika yang dikemukakan (Lyra) itu benar adanya, dalam status yang bersangkutan, maka jangan katakan seseorang yang curhat itu salah atau pencemaran," tutur Soeprapto.

Menurut Soeprapto, segala persoalan yang terjadi di media sosial harus ditanggapi secara proporsional. Artinya, jangan asal lapor polisi. Mohon tempuh segala jalan yang bisa menyelesaikan persoalan dengan cara yang lebih asyik. Begitu kira-kira.

"Dikatakan wajar dan kapan tidak wajar sebetulnya sangat subjektif. Tergantung perspektif yang digunakan. Untuk itu, ya ikuti saja petunjuk yang ada di UU IT," ujar Soeprapto.

Polemik UU ITE

Lyra bukan satu-satunya tukang curhat yang harus berhadapan dengan UU ITE karena postingan media sosialnya. Sebelum Lyra, Ervani Emi Handayani, seorang ibu rumah tangga diperkarakan atas tuduhan pelanggaran Pasal 27 UU ITE, Pasal 310 KUHP, dan Pasal 311 KUHP setelah berkeluh kesah soal pelayanan sebuah perusahaan. Ervani bahkan sempat dipenjara, sebelum hakim memvonisnya bebas pada 5 Januari 2015. 

Infografis (era.id)

Mundur ke tahun 2009, ke salah satu kasus pencemaran nama baik yang paling heboh, yakni perkara yang melibatkan Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dijerat UU ITE karena menyampaikan keluh kesah terhadap pelayanan RS Omni. Padahal, keluhan itu sejatinya Prita kirimkan secara pribadi kepada rekannya via surat elektronik. 

Kasus ini begitu ramai, hingga memancing Komisi I DPR turun tangan. Tak hanya itu, masyarakat pun tergerak untuk membantu penggalangan dana lewat gerakan Koin untuk Prita.

UU ITE jadi benang merah yang menghubungkan nasib Lyra, Ervani, hingga Prita. Terlepas dari proses hukum ketiganya, UU ITE sejatinya adalah persoalan lain yang kerap memicu kontroversi tersendiri.

Kami serius soal UU ITE yang bermasalah. Pelaporan yang menjadikan UU ITE sebagai landasan hukum, kenyataannya memang kerap bermasalah. Pijakan unsur pidana dalam UU ITE sering banget memicu perdebatan karena dirasa kurang relevan.

Selain itu, jelas. Masalah subjektivitas jadi ombak besar yang siap menggulung siapa pun yang berselancar dengan pendapat-pendapat dan komentarnya di media sosial. Tanpa tedeng aling-aling dan keterbukaan hukum, pasal karet UU ITE kerap memenjarakan orang lewat tafsir-tafsir sepihak.

Sumpah, kami sepakat soal kesopanan bermedia sosial. Termasuk kewaspadaan yang harus kita tanamkan dalam diri kita selama berselancar di dunia maya. Tak hanya soal like atau share, kewaspadaan juga harus kita tanamkan dalam hal registrasi. Entah itu registrasi platform media sosial, aplikasi atau berbagai registrasi lain yang memaksa kita menyerahkan data pribadi kita.

Kalau like dan share dapat membawa kita pada jeratan UU ITE, sembarang registrasi pun dapat membawa kerugian bagi kita. Penyalahgunaan data pribadi kita adalah potensi yang sangat mungkin timbul dari kebiasaan asal registrasi.

Jadi, bijaksana memainkan jempol adalah solusi pertama untuk menghindarkan kita dari berbagai petaka yang timbul dari dunia maya. Sepakat?!

Infografis (Retno Ayuningtyas/era.id)