Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjadi saksi dalam persidangan kali ini. Dia dihadirkan oleh JPU KPK untuk dimintai keterangannya mengenai beberapa hal.
"Pada prinsipnya saya hadir ke persidangan ini untuk menghormati dan memberi dukungan penuh terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan di KPK,” tutur Menhub dalam keterangannya.
Budi meluruskan beberapa hal yang selama ini menjadi pertanyaan banyak pihak. Di depan majelis hakim, ia mengatakan, proyek yang diterima oleh PT Adhiguna Keruktama merupakan otoritas Dirjen Hubla, bukan Kemenhub secara langsung.
"Kalau dalam klasifikasi, tentunya ada hierarki di mana menteri mengelola kegiatan-kegiatan yang major (di atas Rp100 miliar), kalau yang sifatnya reklamasi dan pengerukan, itu dikatakan minor (di bawah Rp100 miliar) maka dilimpahkan ke Dirjen," tuturnya.
Oleh sebab itu, dia menegaskan, tidak ada aliran dana dari Kementerian Perhubungan kepada terdakwa Tonny ataupun sebaliknya.
"Saya tegaskan, tidak ada aliran dana dari saya ke terdakwa dan terdakwa ke saya," tuturnya.
Antonius Tonny Budiono didakwa menerima suap dari Direktur Utama PT Adhiguna Keruktama, Adiputra Kurniawan sebesar Rp2,3 miliar.
Uang itu diberikan terkait perizinan dan pengadaan proyek-proyek di lingkungan Ditjen Perhubungan Laut Tahun Anggaran 2016-2017.
Proyek tersebut tersebar di sejumlah pelabuhan berbeda, yakni proyek pengerukan alur pelayaran pelabuhan Pulau Pisau Kalimantan Tengah, Pelabuhan Samarinda, pengerukan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, pengerukan di Bontang Kalimantan Timur, dan pengerukan di Lontar Banten.
Selain menerima suap, Tonny juga didakwa menerima gratifikasi dari sejumlah pihak berupa uang tunai Rp5,8 miliar, 479.700 dolar AS, 4.200 euro, 15.540 pound sterling, 700.249 dolar Singapura, dan 11.212 ringgit.
Tonny didakwa melanggar Pasal 12 huruf b subsider Pasal 11 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan 12 B UU 20/2001 juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.