Setop Anti Budaya Asing
Setop Anti Budaya Asing

Setop Anti Budaya Asing

By Yudhistira Dwi Putra | 03 Apr 2018 20:06
Masih bagian dari artikel berseri, Era Eksistensi Budaya. Kemarin kita telah mengarungi waktu, melihat Kisah Negeri yang Alergi 'Ngak Ngik Ngok'. Kali ini, kita coba renungi, perlukah mempertahankan resistensi terhadap budaya asing di era now?

Jakarta, era.id - Zaman Orde Lama telah berlalu. Sikap anti-asing masyarakat mulai pudar. Perlahan, budaya asing mulai diterima. Pintu globalisasi telah dibuka lebar-lebar. Fenomena ini sudah terjadi sejak lama, sejak pemerintah Orde Baru di masa kepemimpinan Presiden Soeharto mengubah kebijakan bangsa terhadap asing.

Soal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah mengajak masyarakat untuk tetap asyik menghadapi masuknya budaya asing. Dalam pidatonya saat memberi arahan dalam program penguatan Pancasila di Istana Presiden, Bogor 12 Agustus 2018 lalu, Jokowi bilang bangsa Indonesia harus bijak dalam menghadapi masuknya budaya asing. 

Jokowi saat itu terang-terangan menjadikan dirinya contoh yang asyik dalam menghadapi budaya asing. Jokowi yang dikenal doyan musik rock ini bilang, alasannya menghadiri banyak konser musisi dunia untuk mengetahui posisi industri hiburan Tanah Air.

Dengan melihat berbagai hal yang disajikan dalam konser musisi dunia, Jokowi tahu sejauh mana industri hiburan Indonesia berjalan. "Saya nonton untuk apa? Untuk membandingkan posisi kita ini ada di mana. Kekalahan kita dibandingkan mereka itu ada di mana, dan kemenangan kita ada di mana,"

Menurut Jokowi, enggak ada yang salah dengan menikmati budaya bangsa lain, apalagi yang berhubungan dengan karya kreatif, baik itu musik, fesyen, film atau berbagai karya kreatif lain.

Meski begitu, Jokowi mengingatkan masyarakat agar memperkuat pengamalan terhadap nilai-nilai budaya lokal. Tujuannya, tentu saja memperkuat pertahanan diri, supaya enggak gampang tergerus oleh budaya asing. "Yang terpenting kita jangan sampai tergerus oleh mereka," ujar Jokowi, dilansir Antara.

Sebagai rakyat Indonesia sekaligus warga dunia, kita sepakat dengan Jokowi. Di balik banyaknya nilai budaya yang bertentangan dengan berbagai nilai kebangsaan, banyak hal baik yang ditawarkan budaya asing. Jadi, kenapa enggak dibawa asyik aja?!

Infografis (Wildan Alkahfi/era.id)

Bagaimana harus bersikap?

Seperti yang dikatakan Jokowi. Kita harus bisa menerima budaya asing dengan bijak. Tentunya, tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa yang telah dianut selama ini. 

Banyak studi mengungkap bagaimana serbuan budaya asing sebagai bentuk globalisasi menjelma menjadi pisau bermata dua. Kadang-kadang, derasnya arus globalisasi memang memiliki dampak buruk, karena secara enggak langsung, sifat globalisasi memang sedikit memaksa. Membuat masyarakat mau tidak mau menerima kehadiran globalisasi. Di sisi lain, globalisasi justru menjadi obat penawar bagi penyakit tradisional seperti kurang dinamis, ketertinggalan atau kemalasan.

Maisa Yudono, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) mengatakan, bangsa Indonesia masa ini telah terbentuk sebagai komunitas yang lebih terbuka dengan paparan budaya asing. 

Masyarakat Indonesia sudah enggak mengenal konteks resistensi budaya luar. Maisa memandang masyarakat Indonesia telah cukup bijak menyikapi masuknya budaya asing.

“Bangsa kita ini sudah globalize, apabila dikaitkan dengan budaya luar yang berbeda, sedari dulu bangsa Indonesia terbangun dari perbedaan budaya dan berjalan beriringan,” ujar Maisa saat dihubungi era.id.

Fakta lain yang mau enggak mau harus kita terima adalah pergaulan global yang kini makin enggak terbatas. Konsep dunia tunggal kini makin nyata, pada akhirnya hanya ada satu dunia, yang melebur segala bangsa, tanpa sekat.

Radhakhrishnan dalam bukunya, Eastern Religion and Western Though (1924) menyebut, "untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kesadaran akan kesatuan dunia telah menghentakkan kita. Entah suka atau tidak, timur dan barat telah menyatu dan tidak pernah lagi terpisah."

Jadi, masih mau melawan globalisasi? Atau mulai belajar menerima dengan bijak? Itu pilihan kamu. Yang jelas, semua budaya punya nilai plus dan minus. Lagipula, Kalau bisa berjalan beriringan, kenapa harus dibenturkan?

Infografis (Wicky Firdaus/era.id)

Rekomendasi
Tutup