Jokowi dan Prabowo dalam Kacamata Psikologi

| 05 Apr 2018 06:41
Jokowi dan Prabowo dalam Kacamata Psikologi
Ilustrasi Jokowi dan Prabowo (era.id)
Jakarta, era.id - Pemilihan Presiden (Pilpres) makin dekat. Dua kubu telah terbentuk sejauh ini. Kubu PDI Perjuangan (PDIP) telah dipastikan maju bersama empat partai politik (parpol), yakni Partai Golkar, PPP, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Kubu lainnya, baru ada Partai Gerindra yang menggandeng PKS.

Bagi kubu PDIP, enggak ada nama lain selain Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejak awal 2018, nama Jokowi telah diumumkan sebagai calon presiden yang akan mereka usung. Sedang Partai Gerindra dan PKS belum begitu terbuka.

Aroma pencalonan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sudah begitu terasa. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon sudah menyampaikan hal itu. Menurutnya, saat ini tim pemenangan untuk Prabowo sudah mulai bekerja, meski Fadli masih enggan juga untuk blak-blakan.

"Kalau soal capres sudah selesai (pasti Prabowo)," kata Fadli, di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (2/4).

Penegasan soal majunya Prabowo sebagai capres pun telah disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Dia mengatakan, Prabowo siap jadi capres. Namun soal deklarasi, nanti dulu!

"Esensinya bukan deklarasi, esensinya adalah ketercukupan partai, kesiapan partai pengusung dan kesiapan pemilih untuk kembali berjuang bersama-sama kita memenangkan pemilu ini," ujar Muzani. 

Baca Juga : Kumpul Keluarga Ala Jokowi

Persaingan antara PDIP dan Partai Gerindra jadi persaingan klasik. Keduanya berhadapan pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sebelum itu, PDIP dan Partai Gerindra juga berhadapan pada Pemilu 2014. Sejak itu, Jokowi dan Prabowo menjelma jadi dua tokoh sentral yang muncul dari persaingan ini.

Menurut Deborra Basaria, psikolog klinis dari Universitas Tarumanegara (Untar), sesuai pengamatannya di berbagai media massa elektronik, online, dan cetak, dia menilai Jokowi adalah karakter pemimpin yang doyan terjun ke lapangan. Selain itu, kata Debora, Jokowi adalah gambaran seorang pemimpin yang membumi.

Secara psikologis, penampilan Jokowi yang kerap mengenakan kemeja putih polos dengan lengan panjang yang digulung mencitrakan kepribadian seorang pekerja keras.

Lebih dari itu, Debora melihat Jokowi sebagai sosok yang sangat manusiawi. Artinya, segala aspek psikologis tergambar secara gamblang dalam diri Jokowi. "Humornya ada, tegas, negosiasi dan karismatik ada juga," kata Debora.

Hal-hal manusiawi yang mampu dimunculkan Jokowi dari dalam dirinya, menurut Debora, menunjukkan Jokowi adalah orang yang cerdas dalam menempatkan emosi. Jokowi tahu, kapan harus bersikap tegas, kapan bisa selaw kayak di pulaw, atau pun menempatkan diri dalam berbagai situasi lain.

Beda Jokowi, maka beda pula Prabowo. Jika ditelisik dari keilmuan psikologi, Prabowo adalah sosok yang memancarkan aura ketegasan yang amat besar. Menurut Debora, aura ketegasan yang dipancarkan Prabowo menunjukkan dia sosok yang memiliki kemauan dan daya juang besar.

Selain ketegasan, Prabowo dinilai sebagai sosok yang cerdas. Enggak perlu susah-susah membuktikannya. Berbagai prestasi yang diraih Prabowo selama hidupnya adalah bukti yang sulit terbantah. Serius! Kamu bisa cek sendiri betapa menterengnya prestasi Prabowo. Apalagi saat dia masih di militer.

Baca Juga : Prabowo Jalankan Strategi Donald Trump

Kombinasi ketegasan, karisma dan kecerdasan itu dapat dikonversi dengan baik menjadi kepercayaan diri oleh Prabowo. Secara karakter, Prabowo adalah sosok yang memiliki karakteristik amat kuat.

"Akumulasi kecerdasan dan prestasinya itu yang bikin dia (Prabowo) punya kepercayaan diri. Dia tumbuh dengan tipe kepribadian yang tegas dan kuat," kata Debora. 

Nah, jika ditelisik dari gaya kepemimpinannya, Prabowo adalah sosok pemimpin yang dominan. Artinya, Prabowo dapat memegang kendali penuh atas segala hal yang ada di bawah komandonya. Hal itu sudah Prabowo buktikan kala dirinya menjadi Komandan Jenderal Kopassus. "Karena dominan, ya dia ingin unggul sangat kuat sekali," tutur Debora. 

Soal prediksi banyak orang terkait kepemimpinan otoriter yang akan diterapkan Prabowo andai berhasil naik ke kursi presiden, Debora meragukan hal itu. Menurutnya, secara karakter, Prabowo adalah sosok yang seimbang.

Sikap dominan yang dekat dengan otoriter tetap ada dalam diri Prabowo. Namun, sisi demokratis pun sejatinya cukup kuat bersemayam dalam diri Prabowo. "Enggak seratus persen otoriter, tapi enggak seratus persen demokratis. Jadi, 50-50," kata Debora.

Pemimpin ideal buat Indonesia

Ini adalah hal yang amat relatif. Sungguh, enggak akan ada yang betul-betul ideal buat masyarakat Indonesia yang plural ini. Tapi, seenggaknya, kita bisa mencari sosok seperti apa yang mendekati ideal buat bangsa ini.

Menurut Debora, perkembangan sosial masyarakat Indonesia terjadi sangat cepat dan dinamis. Karakteristik masyarakat Indonesia pun dapat berubah dengan waktu yang relatif cepat.

Karenanya, untuk mengimbangi dinamika tersebut, Debora mengatakan, pemimpin Indonesia ke depan haruslah orang yang fleksibel dan terbuka pada berbagai perubahan dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Sebab, pemimpin Indonesia nanti harus mampu mengenali dan mempertimbangkan karakteristik masyarakat yang dipimpinnya dari waktu ke waktu. 

"Tergantung ya, kalau masyarakat kita acak-adul, mungkin besar kemungkinan lebih efektif kalau gayanya pakai yang otoriter," tutur Debora.

Selain itu, dengan kondisi masyarakat yang dinamis, pemimpin Indonesia ke depan harus mampu jadi teladan. Pemimpin yang memiliki keteladanan menjadi penting untuk menjaga masyarakat yang dinamis ini enggak terombang-ambing dalam berbagai perubahan yang terjadi secara cepat.

Jokowi atau pun Prabowo punya karakteristik yang amat kuat. Dua-duanya punya nilai jual yang juga amat tinggi.

Nah, kalau pada Pemilu 2019 nanti Jokowi dan Prabowo ada di kertas suaramu, kamu mau coblos yang mana?

Rekomendasi