“Yang bersangkutan diperiksa sebagai tersangka,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, saat dikonfirmasi, Jumat, (6/4/2018).
Pantauan era.id, Sulik Lestyawati dan Tri Yudiani tiba di Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 10.25 WIB. Mereka tampak duduk di lobby gedung sebelum naik ke ruang penyidik di lantai dua. Sambil menunggu, mereka tampak berbincang hingga petugas keamanan datang dan mengantar ke ruang pemeriksaan.
Sebelumnya, KPK telah menahan 13 anggota DPRD Kota Malang dan Wali Kota Malang Mochamad Anton. Wali Kota Malang ini diduga memberi hadiah atau janji kepada Ketua DPRD dan anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 terkait pembahasan ABPD-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015.
Selain menetapkan Anton sebagai tersangka, KPK juga menetapkan 18 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka, yaitu Suprapto, HM Zainudin, Sahrawi, Salamet, Wiwik Hendri Astuti, Mohan Katelu, Sulik Lestyawati, Abdul Hakim, Bambang Sumarto, Imam Fauzi, Syaiful Rusdi, Tri Yudiani, Heri Pudji Utami, Hery Subianto, Ya'qud Ananda Budban, Rahayu Sugiarti, Sukarno, dan Abdul Rachman.
Baca Juga : Kode Uang Pokir Dalam Suap APBD Malang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, dalam pemberian uang suap tersebut, para pelaku menggunakan istilah 'uang pokir'. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, penyidik KPK punya fakta dan alat bukti berupa keterangan saksi, surat, dan barang elektronik soal penerimaan uang pimpinan dan anggota DPRD Kota Malang.
"Tersangka unsur pimpinan dan Anggota DPRD malang 2014-2019 menerima fee dari MA selaku Wali Kota periode 2013-2018 bersama-sama tersangka JES, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Pembangunan Pemkot Malang tahun 2015 untuk memuluskan pembahasan APBD-P Pemerintah Kota Malang Tahun Anggaran 2015," ujar Basaria.
Diduga pimpinan serta anggota DPRD tersebut menerima pembagian fee dari total keseluruhan yang diterima tersangka M Arief Wicaksono (MAW) sebesar Rp700 juta, dari tersangka Jarot Edy Sulistyono. Dari uang itu, Rp600 juta didistribusikan ke anggota DPRD yang lain.
KPK menilai kasus ini dilakukan secara massal karena melibatkan unsur kepala daerah dan jajarannya, serta sejumlah anggota DPRD yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan anggaran dan regulasi secara maksimal.