Jakarta, era.id
- Guillermo del Toro berhasil menunjukkan keistimewaannya di gelaran Oscar 2018. Film garapannya, The Shape of Water berhasil memenangi empat kategori sekaligus. Best Original Score, Best Production Design, Best Directing, hingga Best Picture.Dua penghargaan yang disebut belakangan jadi yang paling penting buat del Toro sendiri. Trofi Oscar untuk kategori Best Directing kali ini adalah yang pertama buat del Toro. Kalau soal Best Picture, jangan ditanya lagi betapa pentingnya trofi ini buat para sineas dunia.
Baca Juga : The Shape of Water Raih Empat Penghargaan
Sayang disayang, kecemerlangan yang diraih del Toro dinodai dengan dugaan plagiat The Shape of Water. Film yang bertutur tentang kisah cinta klasik antara si cantik dan si buruk rupa ini diselubungi dengan dugaan plagiarisme. Adalah Let Me Hear You Whisper, sebuah karya pementasan teater tahun 1969 yang disebut-sebut telah di-copy ke dalam plot The Shape of Water.
Dugaan plagiarisme The Shape of Water pun berujung pada tuntutan hukum yang diajukan oleh David Zindel, putra dari salah satu pemain dalam pentas teater Let Me Hear You Whisper, Paul Zindel. Berdasar berkas tuntutan yang diajukan David, ada 60 bukti yang menguatkan dugaan plagiarisme The Shape of Water, termasuk keberadaan karakter sentral Elisa Esposito, petugas kebersihan wanita di sebuah laboratorium ilmiah yang diperankan Sally Hawkins.
Pihak del Toro sendiri telah menampik tuduhan plagiat itu. Sutradara berkebangsaan Meksiko ini gerah juga mungkin, karyanya yang paling personal ini disebut meniru karya orang lain. Sebagaimana dilansir Deadline.com, del Toro mengaku enggak pernah sekali pun bersinggungan, apalagi terinspirasi dengan pentas teater Let Me Hear You Whisper.
Dugaan plagiat The Shape of Water ini sangat menggemparkan dunia. Ya, walaupun berbagai macam drama sudah biasa kita temui di setiap penyelenggaraan Oscar. Tapi, tetap saja. Guillermo del Toro, The Shape of Water dan kata plagiat jadi tiga kata paling seksi buat dijadikan headline pemberitaan saat itu.
Baca Juga : Pacific Rim Uprising Dirilis, Apa Kata Mereka?
Plagiarisme sendiri bukan hal baru di dalam seni kehidupan cipta mencipta. Dalam film atau jenis karya gambar bergerak lainnya, The Shape of Water sungguh bukan satu-satunya karya yang tercemari dugaan plagiat. Sebelumnya serial original dari Netflix, Stranger Things juga dituduh menjiplak.
Matt dan Ross Duffer, duo di balik Stranger Things dituntut atas dugaan menyalahgunakan dan mengeksploitasi ide dari sebuah film pendek tahun 2012 berjudul Montauk yang naskahnya berjudul The Montauk Project.
Selain The Shape of Water dan Stranger Things, masih ada banyak contoh lain yang pasti menguras waktu jika harus diulas satu per satu. Entah harus menghabiskan berapa bungkus rokok buat menemani saya menyelesaikan ulasan itu. Maka, kita langsung saja melihat plagiarisme film di negeri tercinta, Indonesia.
Plagiarisme film di Indonesia
Di Indonesia sendiri, plagiat adalah hal yang kira-kira mirip dengan duduk sila di lantai gerbong commuter line. Semua sepakat hal itu menyebalkan, tapi nyatanya hal menyebalkan itu masih saja dilakukan.
Soal film misalnya. Otoritas sejatinya sudah mencium gelagat buruk para plagiator di dunia layar peran Tanah Air, entah itu film, iklan atau pun sinetron. Dalam sudut pandang hukum positif Indonesia, dua hal itu biasa disebut dengan "karya sinematografi".
Pengertian karya sinematografi sendiri telah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tepat pada Pasal 40 Ayat 1 Huruf M yang berbunyi: Karya sinematografi merupakan ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images), antara lain film dokumenter, film iklan, reportasi, atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun.
Baca Juga : Karir Film Mbak Kunti
Lebih rinci, karya sinematografi didefinisikan sebagai karya audio visual yang dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk menyimpan citra untuk kemudian direfleksikan ke layar bioskop, layar lebar, televisi, atau media-media lainnya.
UU Hak Cipta sendiri diatur untuk melindungi karya cipta, termasuk karya sinematografi, bahwa bagaimana pun bentuk karyanya, hanya sang pemegang hak cipta yang memiliki keleluasaan untuk menyalin dan menyebarluaskan karya tersebut.
Infografis "Mirip-mirip Layar Lebar" (Hilmy Putranto/era.id)
Yang sejatinya jadi pertanyaan besar dari seluruh bahasan tentang plagiarisme adalah bagaimana sebuah karya bisa dikatakan plagiat? Apalagi, setiap jenis karya pasti punya unsur-unsur yang berbeda, antara karya akademik, karya musik, atau karya sinematografi.
Dalam karya sinematografi, ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur kemiripan, salah satunya adalah substantial similarity. Metode ini merupakan pendekatan yang dilakukan oleh pengadilan dengan cara membandingkan tingkat kemiripan di antara dua ciptaan. Sayangnya, metode ini kurang populer di Indonesia, kendati telah sering digunakan di negara-negara lain.
Tapi, Indonesia bukannya enggak punya acuan untuk mengukur plagiarisme. Dalam UU Hak Cipta, yakni Pasal 5 Ayat 1, telah diatur mengenai hak moral yang merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk mempertahankan haknya. Dalam Huruf E pasal yang sama, telah dibunyikan: Apabila terjadinya pelanggaran hak seperti distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya (si pencipta).
Baca Juga : Anji Jawab Tuduhan Plagiat Lagu EXO
Hanya saja, memang ada kekurangan dalam landasan hukum ini, yakni tidak dipaparkannya bahasan mendetail soal tindak plagiarisme dalam karya sinematografi. Artinya, segala acuan yang diatur dalam pasal itu hanya menyinggung plagiarisme secara umum. Ketidakjelasan itu juga lah yang sering menjadi masalah lantaran dinilai sangat objektif pada tafsir dan interpretasi semata.
Atas segala kekurangan itu, pemerintah sebagai otoritas tertinggi wajib membangun rambu-rambu yang jelas terkait plagiarisme. Jangan sampai anak-anak bangsa jadi individu yang enggak produktif karena kebanyakan jiplak. Di dunia seni audio visual sendiri, kebiasaan plagiat bakal menghancurkan kemampuan untuk berpikir dan mencipta tontonan-tontonan kreatif.
Dengan begitu, semoga enggak ada lagi film-film ataupun sinetron dalam negeri yang terkesan genius, padahal diciptakan lewat proses membodohi diri sendiri.
"Ganteng-ganteng, kok doyan jiplak?!"