Jaksa menulis, Gamawan pernah mengirim surat Nomor: 471.13/4210.A/SJ kepada Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas. Isinya, pembiayaan mega proyek e-KTP diubah dari Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) jadi anggaran rupiah murni.
Gamawan juga menetapkan pemenang lelang, Konsorsium PNRI untuk mendapatkan kontrak Rp5,8 triliun proyek e-KTP. Padahal, merujuk pada surat tuntutan jaksa, pemenangan konsorsium diatur melalui pengaruh Setya Novanto.
"PT Sandipala Artha Putra bertanggung jawab memberikan fee kepada Gamawan Fauzi melalui Asmin Aulia sebesar 5 persen dari nilai pekerjaan yang diperoleh," tulis Jaksa dalam analisa yuridis tuntutan Novanto.
Sejauh mana kekuatan hukum sebuah surat tuntutan? Kalau kata aktivis Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, itu semua tergantung dari derajat tuntutannya. Jika tuntutannya mempunyai korelasi dengan putusan hukum terdahulu, maka tuntutan jaksa tersebut mempunyai kekuatan yang kuat.
Erwin punya pendapat sendiri soal munculnya nama Gamawan dalam surat tuntutan Novanto. Buat dia, KPK wajib mengkonfirmasi apa yang sudah disampaikan jaksanya.
"Artinya, KPK menyatakan bahwa yang bersangkutan masuk dalam kerangka dugaan pidana yang ditujukan terhadap seseorang. KPK tidak bisa untuk tidak memeriksanya," kata Erwin kepada era.id beberapa waktu lalu.
Hal senada juga dikatakan pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. KPK perlu memeriksa informasi yang muncul dalam persidangan.
"KPK wajib mememeriksa dan mengonfirmasi karena semua alat bukti, fakta hukum itu berasal dari informasi menjadi daya dan menjadi fakta hukum. Jadi tetap harus diperiksa," jelas Abdul Fickar.