Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yambise menegaskan pihaknya bakal menindaklanjuti kejadian ini. Menurut Yohana, meski sejatinya pernikahan dini banyak terjadi di Indonesia, pernikahan bocah di Bantaeng ini cukup berbeda. Kalau dalam banyak kasus anak-anak dinikahi oleh orang yang cukup dewasa, kali ini, pernikahan dilakukan oleh bocah yang sama-sama masih di bawah usia.
Baca Juga : Menyoal Perkawinan Remaja
Yohana mengatakan, Kementerian PPPA sejatinya sudah melakukan berbagai cara untuk menekan tingginya angka pernikahan di bawah usia. Termasuk menggandeng Kementerian Agama (Kemenag) sebagai bentuk sinergitas antar lembaga dan merevisi UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
"Karena kami sudah launching secara nasional, setop pernikahan anak dan kami juga mendekati Pak Menteri Agama untuk melihat kembali, merevisi kembali UU perkawinan Nomor 1 Tahun 1974," katanya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/4/2018).
Baca Juga : Takut Nikah karena Mahal?
Selain itu, Yohana juga mengaku telah bekerja sama dengan berbagai organisasi kemasyarakatan terkait penanganan persoalan ini. "Jadi kami tetap tindak lanjut itu dan sudah ada laporan yang masuk ke Kementerian kami, nanti dari pusat pelayanan terpadu kami akan mendampingi kasus yang ini, kasus pernikahan anak," tuturnya.
Terkait rencananya mengajukan uji materi UU 1/1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Yohana mengatakan, pihaknya tengah mengumpulkan opini publik. Kementerian PPPA ingin melihat sejauh mana langkah uji materi ini betul-betul dibutuhkan. "Saya masih tunggu opini publik, yang menyetujui bilamana mayoritas menyetujui agar pemerintah menaikkan (usia minimal menikah)," tuturnya.
Kementerian PPPA bukan satu-satunya pihak yang pernah mencoba menggoyang UU 1/1974. Sebelumnya, Yayasan Kesehatan Perempuan dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak juga membawa perkara nikah muda ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menghendaki usia minimal pernikahan ditingkatkan, dari semula 16 tahun menjadi 18 tahun.
Infografis (Rahmad/era.id)
Baca Juga : Sisa Pernikahan Massal
Dalam uji materi itu, para pemohon turut menghadirkan tiga saksi ahli. Setiap ahli itu memaparkan betapa banyaknya dampak buruk dari pernikahan di usia muda. Ahli pertama, konsultan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi dokter Julianto Witjaksono memaparkan, risiko kematian bagi kehamilan perempuan di usia 20 tahun jauh lebih besar. Berdasar data yang ia miliki, sebagian besar kematian dalam kehamilan dan persalinan di usia tersebut terjadi akibat pendarahan dan infeksi.
Ahli kedua, dokter Kartono Mohamad mengatakan, kehamilan dan kelahiran merupakan penyebab utama kematian remaja usia 15-19 tahun secara global. Bahkan, kehamilan pada usia remaja meningkatkan risiko kematian bagi ibu dan janinnya. Menurut mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu, risiko kematian bayi yang dilahirkan ibu berusia di bawah 20 tahun berisiko 50 persen lebih tinggi.
Ahli lain, yakni anggota Dewan Pembina Yayasan Kesehatan Perempuan Indonesia, Saparinah Sadli menilai UU yang berlaku sangat merugikan kaum perempuan. Menurutnya, mengizinkan perempuan menikah di usia 16 tahun sama dengan melegalkan bentuk perkawinan yang salah.