KPK Periksa Mantan Bendahara DPD I Golkar Jateng

| 27 Apr 2018 11:27
KPK Periksa Mantan Bendahara DPD I Golkar Jateng
Juru Bicara KPK Febri Diansyah (Tasya/era.id)
Jakarta, era.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil petinggi DPD I Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah. Hal ini disampaikan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Jumat (27/4/2018)

“Diagendakan pemeriksaan terhadap saksi Bambang Eko Suratmoko, bendahara DPD I Partai Golkar Provinsi Jateng tahun 2012. Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka IHP (Irvanto Hendra Pambudi),” kata Febri kepada awak media.

Menurut Febri, tim penyidik KPK mendalami informasi yang didapat dari saksi yang diperiksa pada Kamis, (26/4) kemarin.

“Dikonfirmasi tentang dugaan aliran dana terkait e-KTP,” jelas Febri.

Sebelumnya, Ketua Harian DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah, M. Iqbal Wibisono diperiksa KPK terkait kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Dia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Irvanto Hendra Pambudi.

Menurut Febri, penyidik KPK perlu mendalami beberapa informasi baru terkait proyek korupsi e-KTP kepada saksi. 

"Dikonfirmasi tentang dugaan aliran dana terkait e-KTP," jelas Febri.

Usai diperiksa, Iqbal yang menggunakan batik berwarna hitam keluar dari Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 20.00 WIB. Dia berjalan cepat menuju luar gedung dan irit bicara terkait pemeriksaannya.  

Setelah keluar dari area Gedung KPK, dia langsung berjalan ke arah Hotel Royal Kuningan tanpa mau berbicara apapun pada awak media.

"Enggak ada. Enggak ada. Besok saja," kata Iqbal usai diperiksa.

Irvanto Hendra Pambudi diduga sejak awal mengikuti proses pengadaan e-KTP dengan perusahaannya yaitu PT Murakabi Sejahtera, dan ikut beberapa kali pertemuan di ruko Fatmawati bersama tim penyedia barang proyek e-KTP.

Ia juga diduga mengetahui adanya permintaan fee sebesar lima persen untuk mempermudah proses pengurusan anggaran e-KTP.

Irvanto diduga menerima total 3,4 juta dolar AS para periode 19 Januari-19 Februari 2012, yang diperuntukkan kepada Novanto secara berlapis dan melewati sejumlah negara.

Irvanto disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Rekomendasi