Setelah mendapat gelar dokter, dia langsung terjun ke masyarakat. Profesi sebagai dokter membuat Montessori banyak bertemu anak-anak. Sejalan dengan itu, dia juga meneliti perkembangan intelektual anak yang mengalami keterbelakangan mental.
Montessori kemudian mengembangkan serta menerapkan metode pendidikan anak hasil penelitiannya. Metode pendidikan Montessori ditekankan pada aktivitas pengarahan diri serta pemantauan klinis dari guru atau fasilitator yang mendampingi.
Selain itu, metode ini juga bergantung pada penyesuaian lingkungan belajar, terlebih penyesuaian lingkungan berdasarkan tingkat perkembangan anak. Peserta didik dengan metode Montessori ini juga didorong melakukan praktik untuk menyerap pelajaran.
Metode Montessori dikenal unik karena juga menggunakan alat auto correction untuk memaksimalkan proses belajar anak. Alat tersebut digunakan agar anak mengerti tentang benar dan salah, lalu mengoreksinya sendiri. Karena hal itu, Montessori juga kerap disebut metode hadiah dan hukuman untuk anak.
Perbedaan Montessori dengan metode pendidikan reguler terlihat dari penggunaan kurikulum yang ‘memaksa’ mengerti semua hal yang diajarkan. Peserta didik dengan metode Montessori akan lebih sering memainkan permainan edukatif dan mempraktikkan pekerjaan rutin harian seperti mencuci piring setelah makan, merapikan tempat tidur, mengenakan pakaian dan mengancingnya sendiri.
Memang pendidikan ini kerap dinilai terlalu bebas dan hampir tidak beraturan. Namun, praktik metode Montessori mengajarkan anak-anak mandiri dan bisa menentukan apa yang mereka sukai sesuai dengan kemampuan dan usianya.
Metode ini kerap jadi pilihan karena usia anak-anak penuh dengan rasa penasaran, rasa ingin mengeksplorasi hal baru yang disukai, dan membuat anak-anak ingin terus belajar.
Sekolah yang menerapkan metode Montessori memiliki lima area belajar utama, yaitu latihan kehidupan sehari-hari, pembelajaran melalui pancaindra/sensorial, bahasa, dunia sekitar, dan matematika.