ERA.id - Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarty meminta masyarakat, khususnya orang tua, guru, dan siswa, dapat membedakan perilaku siswa yang bercanda dengan perundungan.
"Bedanya bercanda dengan perundungan, kalau bercanda kan kita sama-sama suka, sama-sama tertawa senang, kalau perundungan, yang satu senang, satu tersakiti. Jadi bully dengan bercanda itu tidak sama," kata Retno dalam gelar wicara yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis silam.
Retno menyampaikan hal tersebut merespons kasus tindak kekerasan yang sedang viral di salah satu SMA di Serpong, Tangerang Selatan.
"Kasus yang sedang viral sekarang, yang melibatkan anak seorang artis, disebutnya kan bully ya, padahal sebenarnya bukan bully. Jadi dalam Permendikbudristek 46 tahun 2023 tentang Pencegahan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, kekerasan itu ada enam," paparnya.
Adapun enam kekerasan yang disebutkan dalam Permendikbudristek tersebut yakni kekerasan fisik, perundungan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan.
"Kasus video yang beredar viral itu kategori kekerasan fisik, namanya penganiayaan, bukan bully," ucap Retno.
Ia juga menegaskan, terkait perundungan, apabila ada anak yang melaporkan kepada tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) tentang perundungan, maka sekolah harus menanggapinya secara serius.
"Kalau ada yang lapor ke PPK sekolah, bilang kalau saya di-bully, dan pelaku bilang, kami bercanda, itu bukan, karena kalau ada yang tersakiti, jatuhnya tidak bercanda lagi," ujar dia.
Ia juga mencontohkan terkait kekerasan psikis, misalnya ada salah satu guru di kelas, yang meski tidak memukul atau menyakiti siswa, tetapi kata-katanya menyinggung dan berdampak ke psikis siswa, maka sudah dikategorikan kekerasan psikis.
"Lalu yang mungkin terjadi dan sering kita tidak sadari adalah intoleransi dan diskriminasi, karena perbedaan agama, suku, dan lain-lain, atau perbedaan ekonomi juga bisa," katanya.
Kemudian, jenis kekerasan yang terakhir yakni terkait kebijakan, dimana pihak sekolah dan dinas pendidikan bisa saja mengeluarkan aturan tetapi mengandung kekerasan.
"Jadi pernah ada kejadian, sekolah bikin aturan dan masuk tata tertib, anak yang ketahuan merokok di kelas hukumannya ditampar oleh teman satu kelas, itu berarti mengandung kekerasan, atau misalnya datang terlambat, lalu mendapatkan hukuman push up, sit up, kalau saya bilang, enggak boleh melakukan itu," tutur dia.
Ia juga menekankan, guru tidak boleh memberi sanksi pada anak-anak yang menimbulkan rasa malu atau merendahkan anak, misalnya mencukur rambut dengan paksa.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kemendikbudristek Drs. I Nyoman Rudi Kurniawan yang hadir secara daring dalam gelar wicara tersebut menyebutkan bahwa satuan pendidikan mesti mengimplementasikan Permendikbudristek nomor 16 tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
"Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang menyenangkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 huruf C dirancang agar peserta didik mengalami proses belajar sebagai pengalaman yang menimbulkan emosi positif," kata Nyoman.
Dalam peraturan tersebut, pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang menyenangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, menarik, aman, dan bebas dari perundungan, menggunakan berbagai variasi metode dengan mempertimbangkan aspirasi peserta didik, serta tidak terbatas hanya dalam kelas.
"Kemudian juga mengakomodasi keberagaman gender, budaya, bahasa daerah setempat, agama dan kepercayaan, karakteristik, dan kebutuhan setiap peserta didik," ucapnya.