Buktinya, Finlandia memiliki beberapa kebijakan yang unik dan berbeda dengan negara-negara lain. Kebijakan tersebut di antaranya, seleksi guru yang ketat, gaji guru yang tinggi, kurikulum yang konsisten, meminimalisir ujian, tidak menggunakan sistem peringkat, dan biaya pendidikan ditanggung pemerintah.
Dalam buku Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit Belajar Lebih Banyak karya Pasi Sahlberg, sistem pendidikan di Finlandia memiliki tujuan utama untuk mewujudkan kualitas pendidikan terbaik bagi semua.
Untuk menguatkan sistem tersebut, Finlandia fokus terlebih dahulu pada kualitas pengajar. Para pengajar diharuskan memiliki gelar master dan mengajar menggunakan metode yang kooperatif. Selain itu yang terpenting, perencanaan kurikulum adalah tanggung jawab dari kolaborasi guru, sekolah dan pemerintah kota, bukan pemerintah pusat.
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, rasanya sistem pendidikan Indonesia tidak ada seberapanya dengan Finlandia. Apabila ingin membandingkan data, kualitas pendidikan Indonesia sangatlah memprihatinkan.
Data PISA, lembaga pemeringkat kualitas pendidikan, menyatakan Indonesia berada di peringkat 62 dari 72 negara di dunia. Itu karena Indonesia belum memiliki sistem yang baik, fasilitas yang mumpuni, dan sumber daya manusia yang apik untuk masalah pendidikan.
Harus diakui, sistem pendidikan di Indonesia masih mencari fondasi. Buktinya, kurikulum pendidikan nasional selalu berubah dan terus menemui banyak pro dan kontra. Apalagi, sistem pendidikan Indonesia belum berpihak bagi pengembangan SDM Indonesia. Kalau begini, masa iya mau mengejar Finlandia?
Tapi ternyata, ada kesamaan sistem pendidikan di Finlandia dengan tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Menteri Pendidikan Indonesia pertama itu pernah memiliki sebuah gagasan yang sangat mirip dengan apa yang kini dilakukan Finlandia saat ini, yaitu pendidikan yang menghargai perbedaan karakteristik tiap anak.
Standarisasi pendidikan secara proporsional menjadi hal yang utama dalam pengembangan pendidikan yang ditawarkan oleh Ki Hajar. Dalam bukunya yang berjudul Pusara (1940), Ki Hajar menyatakan tidak baik menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Menurutnya, perbedaan bakat, kemampuan, hingga keahlian harusnya difasilitasi dengan bijak.
Bagi Ki Hajar, anak-anak tumbuh berdasarkan kodrati yang unik, setiap anak mampu untuk menjadi apa yang dia inginkan melalui pendidikan yang selektif dan proposional. Finlandia melakukan hal sama dengan Ki Hajar. Sistem pendidikan mereka tidak melakukan standarisasi yang baku terhadap anak didiknya, serta memiliki sistem peringkat.
Oleh karena itu, sekolah di Finlandia fokus untuk menempa para siswa dengan didikan tanpa memisahkan kecerdasan masing-masing siswa. Semua siswa dianggap memiliki kesempatan untuk menjadi yang terbaik.
Selain itu, sistem pendidikan Finlandia juga meminimalisir sistem kompetisi dalam dunia pendidikannya. Tidak ada namanya sekolah atau kelas unggulan. Bahkan untuk ujian akhir, Finalndia hanya menyelenggarakan tes sebanyak satu kali, yaitu saat mereka berusia 16 tahun.
Sistem ini mirip dengan pengajaran Ki Hajar Dewantara tentang prinsip pendidikan yang ideal baginya. Ki Hajar menyebutnya dengan prinsip N3, yaitu Niteni, Nirokake, Nambahi.
Niteni adalah bahasa jawa yang berasal dari kata dasar titen. Titen berarti adalah kemampuan secara cermat untuk mengenali dan menangkap makna dari suatu objek. Niteni saat ini lebih dikenal dengan definisi proses kognitif yang berusaha untuk mencari kebenaran akan sesuatu.
Sedangkan Nirkokake dan Nambahi adalah bahasa jawa yang berarti meniru dan mengembangkan. Dalam hal ini, objek didikan harus mau untuk mengembangkan pikirannya, menerima perbedaan dan membuat sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.