Jakarta, era.id - 2 Mei, 20 tahun silam. Mahasiswa negeri ini punya amunisi semangat baru untuk menuntut reformasi tidak bisa lagi ditunda pelaksanaannya.
Semua berawal dari pernyataan pemerintah pada 1 Mei 1998. Kami sudah ceritakan peristiwa itu di sini. Lewat Menteri Dalam Negeri R Hartono, Presiden Soeharto mulai mengalah terhadap desakan publik. Soeharto membuka peluang terjadinya reformasi di Indonesia. Namun meminta warga bersabar menunggu hingga tahun 2003.
"Kalau ada keinginan reformasi di bidang politik, silakan mempersiapkan diri setelah tahun 2003. Bukan berarti tidak boleh berpikir dan menyiapkan reformasi, tetapi karena Sidang Umum MPR 1998 yang lalu rakyat sudah memiliki pedoman, silakan saja mempersiapkan untuk setelah 2003," kata Hartono kala itu.
Pernyataan pemerintah itu seperti memberi asap kepada lubang semut. Ribuan mahasiswa dari berbagai daerah khususnya, kota-kota besar melakukan aksi keprihatinan pada Sabtu, 2 Mei 1998. Tak sedikit aksi tersebut berujung bentrokan dengan aparat keamanan.
Infografis menuntut percepat reformasi (Hilmy/era.id)
1. Bogor
Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bogor kembali melakukan aksi keprihatinan dan menuntut dilakukannya reformasi. Aksi tersebut dilakukan di halaman Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang, Kota Bogor. Pada aksi tersebut berjalan, dua orang paranormal, yakni Permadi dan Ki Gendeng Pamungkas, datang.
Aksi ini diikuti sejumlah mahasiswa dari IPB, Universitas Djuanda (Unida), Universitas Pakuan (Unpak), Universitas Nusa Bangsa (UNB) serta beberapa perguruan tinggi lainnya ini. Aksi berlangsung tertib karena dilakukan di dalam kampus.
Tapi aksi sempat juga memanas karena massa sempat berusaha keluar dari pintu gerbang kampus. Tapi petugas bersikeras melarangnya. Seorang mahasiswa terjatuh dari pintu gerbang saat berusaha menembus barikade petugas keamanan seperti diberitakan harian Kompas (3/5) tahun 1998.
2. Jakarta
Lapangan parkir Fakultas Kedokteran UI, Salemba, disesaki ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa, buruh, para sarjana, dan para pelajar. Mereka menggelar demo sambil mengibarkan spanduk bertuliskan 'Rakyat Tuntut Reformasi Politik Sekarang, Harto!'
Seperti dilaporkan Antara, aksi yang diikuti sekitar 2.000 orang itu diwarnai aksi menarik sejumlah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang menampilkan atraksi simbolik dari seorang anak kecil ditandu enam mahasiswa. Menurut salah seorang demonstran mahasiswa IKJ, Indra, aksi tersebut menggambarkan terbelenggunya kebebasan dan pembungkaman yang terjadi pada rezim Soeharto.
Aksi juga berlangsung di IKIP Jakarta, Universitas Pancasila, Universitas Nasional, IISIP, IAIN Ciputat, Universitas Yarsi, UMJ, Institut Teknologi Indonesia, dan Akademi Bahasa Asing-Akademi Bahasa Indonesia (ABA-ABI).
3. Bandung
Di Bandung, para mahasiswa tak henti mengumandangkan perlunya reformasi dilakukan tanpa menunggu tahun 2003. Aksi demonstrasi yang bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional ini digelar di tiga kampus yaitu Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB), Universitas Pasundan (Unpas), dan Institut Adityawarman (ITA).
Kemudian di Institut Teknologi Bandung, Keluarga Mahasiswa ITB memperingati Hardiknas dengan studium generale dari Guru Besar Astronomi ITB, Prof. Bambang Hidayat. Studium generale adalah tradisi khas kehidupan kampus-kampus besar di Eropa dan Amerika yang tradisi ilmiahnya sudah mapan. Di Indonesia, studium generale sering diterjemahkan sebagai kuliah umum.
Sementara itu di Kampus STHB, seperti dikabarkan harian Pikiran Rakyat (3/5) 1998, kurang lebih 50 mahasiswa terpaksa membatalkan long march karena dihadang delapan truk aparat keamanan di Jalan Cihampelas.
Civitas Akademika STHB menuntut DPR dan Presiden RI untuk segera melakukan reformasi ekonomi politik dan hukum. Selain itu mereka juga menuntut agar praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dihapuskan.
Demonstrasi yang berakhir sekitar pukul 14.00 itu sempat diwarnai aksi saling dorong antara mahasiswa yang memaksa keluar dari kampus dengan pasukan Dalmas Polda Jabar yang menghadangnya.
Merespon keadaan yang semakin tidak kondusif, akhirnya Soeharto memanggil Menpen (Menteri Penerangan) Alwi Dahlan dan Mendagri (Menteri Dalam Negeri) R. Hartono untuk meralat pernyataannya.
"Kami ingin meluruskan kembali pemberitaan yang seolah-olah mengatakan, Bapak Presiden tidak menginginkan reformasi sampai tahun 2003. Padahal tidak demikian, Bapak Presiden membuka pintu untuk reformasi," kata Alwin seperti dikutip dari buku Sejarah Pergerakan Nasional karya Fajriudin Muttaqin, dkk (2015).