Dikutip dari berbagai sumber, salah satu faktor paling mendasar adalah permasalahan daya tampung lapas tersebut. Menurut data Dirjen Pemasyarakatan, per Januari 2018 saja jumlah tahanan dan napi di Indonesia sebanyak 233.662 orang, sedangkan daya tampung yang mampu disediakan untuk saat ini hanya mencapai 123.117 orang.
Artinya, kelebihan kapasitas di lapas dan rutan Indonesia sudah mencapai sekitar 188 persen. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, per Januari 2017 yang mencapai 169 persen. Jelas, ini merupakan angka yang sangat besar.
Masalah lainnya adalah kesenjangan sosial semisal keterbatasan tempat atau fasilitas yang disediakan. Awalnya mungkin hanya berebut jatah kamar mandi atau air yang terbatas, lalu muncul masalah pasokan makanan dan kecemburuan atas fasilitas yang tersedia. Dari situ berpotensi muncul pertikaian.
Baca Juga : Napi Terorisme Penyandera Polis Menyerah Tanpa Syarat
Ilustrasi grafis (era.id)
Tujuan lapas sudah sangat jelas, melakukan pembinaan kepada para pelaku tindak kejatahan. Namun, kondisi dan suasana tempat mereka yang dianggap kurang ideal dan jauh dari rasa aman dapat memicu semua permasalahan ini. Berbagai kondisi dan situasi tersebut dapat membuat proses pembinaan menjadi semakin sulit. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan;
"Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulagi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktfi berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab."
Tapi, kehidupan di dalam lapas sangat jauh dari sisi humanis. Karena lapas merupakan tempat orang yang memiliki permasalahan dengan hukum, kekerasan pun kerap terjadi dan kuat kaitannya dengan hilangnya hak otonomi atau depersonalisasi dan infantilisme serta wajib tunduk pada aturan yang berlaku di lingkungan lapas.
Baca Juga : Napi Teroris Rampas Senjata dan Rakit Bom
Para napi teroris menyerahkan diri (Foto: Istimewa)
Faktor lain yang berdampak buruk bagi para penghuni lapas adalah, kehilangan kebebasan dalam berkomunikasi secara bebas dan luas, kehilangan harga diri dan rasa percaya diri, lalu ada juga hilangnya kreativitas dan pikiran yang bebas. Inilah yang selalu menjadi landasan para napi bertindak sesuka hati sehingga merugikan napi lainnya.
Kerusuhan di Mako Brimob terjadi sejak Selasa (8/5/2018) malam dan pelakunya adalah naripadana terorisme. Menurut Menko Polhukam Wiranto, 156 napi terorisme merampas 37 pucuk senjata dan menyandera sembilan anggota Polri.
Menurut polisi, mereka berulah karena menuntut jatah makanan. Para narapidana teroris itu sempat menyandera sembilan anggota Brimob, lima di antaranya telah gugur.
Sekitar pukul 07.15, Kamis (10/5), polisi menyerbu napi teroris hingga semuanya menyatakan menyerah tanpa syarat setelah diserbu menggunakan tembakan peringatan dan bom asap.
Dari 156 napi teroris yang berulah, seorang di antaranya tewas ditembak petugas. Semua napi perusuh itu akan dipindahkan ke Lapas Nusakambangan dengan pengamanan ekstra maksimum.
Baca Juga : Napi Teroris Menyerah, Jalan Depan Mako Brimob Dibuka
Ilustrasi grafis (era.id)