Membaca Sel Teroris Indonesia
Membaca Sel Teroris Indonesia

Membaca Sel Teroris Indonesia

By bagus santosa | 14 May 2018 05:19
Jakarta, era.id - Aksi terorisme terjadi secara berentetan setelah kerusuhan di Rutan Salemba cabang Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Selasa 8 Mei 2018. Letupan yang terjadi sporadis ini ternyata bukan tanpa sebab. Sel-sel teroris yang terpencar-pencar itu sedang meluapkan akumulasi kekecewaan yang dipendam selama ini. 

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, faktor itu juga yang juga jadi penyebab utama kerusuhan di Mako Brimob meledak. Dia pun meluruskan kalau kerusuhan di sana bukan cuma soal makanan.

"Jadi bukan hanya karena makanan. Jadi memang sudah ada kemarahan," kata Tito di Surabaya, Minggu (13/5/2018).

Kata Tito, saat ini, sel teroris yang ada di Indonesia terkategori kecil. Apalagi, pimpinan mereka, pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Aman Abdurahman sudah ditangkap polisi karena menjadi otak bom Thamrin 2016. 

Sebenarnya, kursi pimpinan JAD Indonesia diberikan kepada pimpinan JAD Jawa Timur Zainal Anshori. Tapi, si pimpinan baru ini juga ditangkap polisi karena keterlibatan penyelundupan senjata dari Filipina beberapa waktu lalu.

Setelah dua pimpinan ini ditangkap, JAD di Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS jadi tidak punya pemimpin dan panutan. Mereka pun membentuk sel-sel kecil untuk bertahan.

(Infografis penjelasan JAD dan JAT/era.id)

Di samping itu, ISIS pusat di Suriah sana juga dalam keadaan terjepit oleh kedigdayaan Barat dan Rusia. Ini pula yang membuat ISIS di seluruh dunia diperintahkan untuk memberontak. Tapi, untuk di Indonesia, sel-sel ISIS sulit bergerak karena kepalanya sudah dilumpuhkan.

"Peristiwa Mako Brimob itu membuat sel lain, yang mereka memang maunya panas karena ada instruksi ISIS Suriah dan para pimpinan ditangkap, mereka ambil momentum untuk melakukan pembalasan ini," ujar Tito.

Setelah kerusuhan di Mako Brimob, sel-sel teroris di Indonesia mulai meletup. Mulai dari penyerangan Bripka Mahrum Prencje di dekat Mako Brimob pada Kamis 10 Mei. Sang polisi meninggal dunia karena ditusuk pelaku. Si pelaku berinsial TS pun ditembak mati polisi.

Kemudian, pada Jumat 11 Mei, polisi menangkap empat orang teroris dari Karawang yang ingin menyerang Mako Brimob. Dari penangkapan ini, dua orang ditembak dan membuat satu orang meninggal dunia. Mereka yang ditangkap berinsial AM, HG, RA dan JG.

Baca Juga : Alasan Mengapa Tak Boleh Sebut Terorisme Isu Agama

Selanjutnya, Minggu 13 Mei, polisi menangkap empat orang teroris, berinisial BBR, DCM, AR, dan HS, di Cianjur, Jawa Barat. Mereka juga ingin menyerang Mako Brimob, Depok. Saat ditangkap mereka melawan dan polisi pun menembak mati mereka. Bersama mereka disita beragam senjata, amunisi dan pisau yang diolesi racun.

"Dan, yang di Jatim ini, ini yang sel yang bergerak JAD Surabaya. Satu keluarga diduga Dita (Dita Oepriarto)," ujar Tito. 

Dita Oepriarto dan Puji Kuswati yang merupakan pasangan suami istri turut melibatkan empat anak mereka dalam aksi bom bunuh diri di Surabaya. Dua anak perempuan mereka, FR (8) dan FS (12), serta dua anak lelaki YF (17) dan FH (15).

Mereka melakukan teror bom di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Gereja Kristen Indonesia Diponegoro dan Gereja Santa Maria Tak Bercela.

 

Tito kemudian mewaspadai sel-sel yang akan meletup selanjutnya. Kata dia, masih ada 500 orang yang siap memberikan perlawanan. Mereka adalah WNI yang dideportasi dari Suriah setelah mengabdi di ISIS. 

"Ini tantangan kita, mindset mereka ideologinya sudah ISIS," kata dia.

Tito pun sudah melaporkan ini ke Presiden Joko Widodo. Dia juga sudah menyiapkan strategi untuk menghadapi ini. Di antaranya, menggandeng TNI untuk melakukan operasi bersama.

"Kita akan lakukan penangkapan sel-sel JAD dan JAT maupun yang akan lakukan aksi lainnya," ujar Tito.

Baca Juga : Masih Ada Harapan Berantas Radikalisme

Upaya ini dengan alasan musuh yang dihadapi adalah orang-orang yang terlatih. Tito mengatakan, mereka adalah orang-orang yang mengerti cara menghindari deteksi intelijen, menghindari komunikasi, menghindari surveillance, dan meng-counter interogasi. 

"Mereka punya itu. Mereka berlatih bagaimana menghindari deteksi kita. Tapi, kami akan maksimal," ucap Tito.

"Kelompok ini tidak terlalu besar, ini sel kecil. Mereka tidak mungkin mengalahkan negara, Polri, TNI, dan kita semua. Yang jelas, kita harus satu padu, mohon dukungan semua pihak agar kita bisa melakukan tindakan," tegasnya.

 

Tapi, Tito mengaku kesulitan untuk melakukan penindakan. Sebab, undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang terorisme tidak memberikan kebebasan polisi melakukan tindakan terhadap terduga teroris.

"Kita tahu sel-sel mereka, tapi kita tak bisa menindak kalau mereka tidak melakukan aksi. UU ini sangat responsif, kita bisa bertindak kalau mereka melakukan aksi atau sudah jelas ada barang buktinya," kata dia.

Polri pun ingin lebih dari itu. Tito mengatakan, perlu ada aturan di mana negara, institusi hukum atau minimal pengadilan yang langsung memvonis sebuah organisasi adalah organisasi terlarang. Sehingga, polisi bisa langsung melakukan tindakan terhadap organisasi yang terlarang itu.

"Itu akan lebih mudah bagi kita. Kita mohon dukungan teman-teman DPR jangan terlalu (lama), korban sudah berjatuhkan, negara butuh power yang lebih," ujar dia.

Rekomendasi
Tutup