Dugaan Tindak Pidana Pemilu tersebut merupakan hasil pembahasan Sentra Gakkumdu dan disepakati bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung.
"Bawaslu menemukan adanya iklan kampanye di media massa cetak yaitu di harian Jawa Pos atas dugaan tindakan pelanggaran pidana pemilu oleh PSI, khususnya kualifikasi kampanye di luar jadwal 492 UU Pemilu," ujar Abhan di Kantor Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (17/5/2018).
Abhan menerangkan, alasan Bawaslu menentukan pihak terlapor yaitu Sekjen dan Wasekjen karena sampai saat ini memang hanya dua orang tersebut yang bisa mengklarifikasi.
"Awalnya kami mengundang ketua umum, sekjen dan pihak terkait. Sampai batas waktu yang ditentukan, yang bisa terklarifikasi hanya dua orang ini karena ketua umum belum juga bisa hadir. Kalau kami menunggu kehadiran waktu maka nanti (kasusnya) sudah kedaluwarsa," kata Abhan.
Lanjut Abhan, jika terlapor terbukti bersalah di pengadilan, maka sesuai dengan rumusan Pasal 492 UU Pemilu, terlapor mendapat ancaman 1 tahun penjara dan denda maksimal Rp12 juta.
"Definisi kampanye pada Pasal 1 ayat 35, sudah dibahas di pembahasan dan 2 unsur alternatif, ini memenuhi unsur pengertian kampanye, citra diri parpol peserta pemilu, meskipun tidak ada visi misi, tapi itu masuk kampanye," kata Abhan.
Namun, tambah Abhan, kasus ini tidak memberi sanksi pidana maupun perdata kepada PSI sebagai partai dan tidak akan mendiskualifikasi PSI dari peserta Pemilu 2019.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta telah memanggil pengurus DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk mendapat informasi terkait keberadaan iklan partai itu di Koran Jawa Pos tersebut.
Materi iklan yang dipermasalahkan adalah pemberitahuan polling yang dilakukan PSI mengenai sosok Calon Wakil Presiden dan komposisi ideal Kabinet bagi Presiden Joko Widodo.