"Secara umum kita sudah sepakat. Jika ada perbedaan sedikit itu wajar. Tapi substansinya sudah clear," kata Supiadin pada diskusi Polemik mengenai RUU Anti-terorisme di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (19/5/2018).
Dijelaskannya, ada beberapa hal pembeda antara UU Anti-terorisme yang diajukan pemerintah pada 2016 lalu dengan RUU Anti-terorisme yang baru. Mulai dari sifat penindakan terhadap kejahatan terorisme, aparat yang terlibat hingga penanganan terhadao masyarakat pasca aksi terorisme.
"Saya ingin jelaskan bagaimana perbedaan yang sangat prinsip antara Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dengan Revisi Undang-undang yang sedang berjalan. Undang-undang existing itu, dia bersifat reaktif, tunggu bom, tunggu peristiwa, tunggu korban terjadi baru bertindak. Karena selama ini aparat tidak punya payung hukum untuk menghadapi, menindak gejala-gejala yang ditimbulkan para terduga teroris," jelas Supiadin.
Namun dalam RUU Anti-terorisme yang baru, penanganannya akan lebih bersifat proaktif dan diakomodir. Sehinggga aparat memiliki kewenangan untuk segera menindak terduga teroris meski aksi terornya belum terjadi.
"Misalnya kita sudah tahu ada rencana, misalnya ada 500 fighter yang kembali dari ISIS, mereka pulang ke sini tidak bisa diapa-apakan. Padahal dalam KUHP, kalau ada warga negara secara terang-terangan bergabung menjadi tentara asing tanpa izin, maka di situ bisa dicabut warga negaranya," papar Supiadin.
"Nah, kami sebagai wakil rakyat ingin memberi kewenangan ke aparat kita, tapi ingin melindungi rakyat juga. Jadi nanti maksimum 21 hari ditahan, ditangkap. Karena di KUHPnya diperbolehkan kalau punya bukti permulaan yang cukup, ini sebagai upaya pencegahan," sambungnya.
Terakhir, Supiadin menerangkan revisi undang-undang dasar akan dilengkapi penjelasan penanganan pasca serangan teroris. Dia mencontohkan penanganan terhadap korban, di mana pemerintan memberikan santunan kepada korban serangan teroris.
"Undang-undang ini kita lengkapi dengan bagaimana penanganan pascabom seperti memberi santunan dan lain-lain. Ini 3 isi subtansi startegis yang tidak dimiliki undang-undang sebelumnya," tutup Supiadin.
Supaya kalian tahu, RUU Anti-terorisme tengah digarap DPR sejak Februari 2016, tepatnya setelah terjadinya bom Thamrin, di Jakarta Pusat. Namun, hingga kini, revisi belum kelar. Saat ini DPR juga tengah dalam massa reses dan baru bersidang pada 18 Mei nanti, hingga Juni.
Presiden Joko Widodo mendesak DPR dan kementerian terkait segera menyelesaikan pembahasan RUU Anti-terorisme dan bakal menerbitkan perppu jika hingga akhir masa sidang selanjutnya RUU tersebut belum diselesaikan.