Saat itu, terjadi perusakan rumah dan upaya pengusiran terhadap warga Ahmadiyah. Kejadian ini kemudian menyebabkan enam rumah rusak berat berikut perabotannya serta kendaraan bermotor.
"Peristiwa intoleransi ini adalah bentuk teror dan telah merusak kesucian di bulan Ramadan," kata Direktur Eksekutif Maarif Institute Abdullah Darraz dalam keterangan tertulis yang diterima era.id, Minggu, (20/5/2018).
Ia menilai segala bentuk intoleransi terhadap komunitas yang berbeda tak boleh dilakukan dan dibiarkan. Menurut Darraz, intoleransi merupakan bibit utama dari sikap radikal dan ekstrem di kalangan masyarakat.
Darraz juga mendesak kepolisian bersikap tegas terhadap berbagai perilaku dan pelaku tindak intoleransi.
“Polisi bertanggung jawab memberikan perlindungan dan rasa aman kepada seluruh warga negara, terutama ketika menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, sebagai mana diatur dalam konstitusi,” ungkapnya.
(Ilustrasi/era.id)
Darraz juga menyinggung soal janji nawacita Presiden Joko Widodo yang menyebut negara hadir dalam melindungi dan memberikan rasa aman kepada warganya.
Sehingga, menurutnya, negara harus hadir untuk menjamin rasa aman dan melakukan rehabilitasi terhadap properti yang dirusak pelaku teror tersebut.
Kasus penyerangan ini disebut Darraz, kembali mengingatkan publik terhadap kejadian yang sama. Saat itu, tahun 2006 ada juga jemaah Ahmadiyah Lombok yang terusir dan sampai sekarang masih tinggal Wisma Transito.
“Hak warga negara untuk hidup dan tinggal dengan aman di rumah miliknya sendiri terpasung oleh teror fanatisme dan lemahnya penegakan hukum,” ujar dia.