Maarif Institute Sebut Wali Kota Cilegon dan Wakilnya Tanda Tangani Penolakan Gereja Langgar Konstitusi

| 12 Sep 2022 11:21
Maarif Institute Sebut Wali Kota Cilegon dan Wakilnya Tanda Tangani Penolakan Gereja Langgar Konstitusi
Tangkapan layar Wali Kota Cilegon, Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon, Sanuji Pentamarta menandatangani penolakan pembangunan gereja (Instagram @boy.giri)

ERA.id - Maarif Institute menyebutkan, tindakan Wali Kota Cilegon, Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon, Sanuji Pentamarta menandatangani penolakan pembangunan rumah ibadah Gereja melanggar konstitusi.

Diketahui, sejumlah orang yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon, menolak pembangunan rumah ibadah Gereja di Lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten.

"Apakah tidak sadar bahwa apa yang Bapak berdua lakukan itu merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi, yakni Pasal 29 Ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," ucap Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd Rohim Ghazali melalui surat terbuka yang diterima ERA.id, Senin (12/9/2022).

Rohim menyebutkan, penolakan pendirian tempat ibadah yang dilakukan oleh pejabat negara merupakan tindakan yang sengaja menghalangi-halangi warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianut.

"Keberadaan rumah ibadah merupakan keniscayaan dalam setiap proses peribadatan bagi setiap pemeluk agama," katanya.

Selain itu, lanjut Rohim menghalangi pendirian rumah ibadah sama artinya dengan menghalangi warga negara untuk beribadah.

"Kalau penolakan itu dilakukan oleh waga negara, anggota masyarakat biasa, barangkali bisa disebut sebagai bentuk aspirasi, atau hak untuk berekspresi, walau ini pun perlu dipertanyakan, karena menghalangi pendirian tempat ibadah dan atau menghalangi orang lain untuk beribadah adalah bentuk perampasan terhadap hak asasi orang lain," paparnya.

Rohim menyampaikan, selain melanggar konstitusi Walkot dan Wawakot Cilegon juga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 334 Ayat (2) poin (g) mengenai asas penyelenggaraan pelayanan publik, yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.

Dari data yang diperoleh Maarif Institute, secara demografis terdapat lima agama yang dianut oleh masyarakat Kota Cilegon, yakni Islam sebesar 97 persen, Protestan 0,84 persen, Katolik 0,77 persen, Hindu 0,26 persen, dan Buddha 0,16 persen.

Dari kelima agama itu, tak ada satu pun rumah ibadah selain untuk pemeluk agama Islam.

"Jumlah masjid 381, mushala 387, sementara Gereja Protestan, Katolik, Pura, dan Wihara jumlahnya nihil alias zero!" paparnya.

DIa menyebut, apa pun alasannya, menghalangi pembangunan rumah ibadah merupakan tindakan diskriminatif dan membuktikkan bahwa toleransi beragama yang setiap saat dipidatokan dengan penuh semangat dan anti diskriminasi yang selalu menghiasi orasi, semuanya omong kosong belaka.

"Dan di Kota Cilegon, Provinsi Banten, yang Bapak berdua pimpin, omong kosong itu begitu nyata adanya," ujarnya.

Dalam surat terbukanya, Maarif Institute menyebut bahwa pernyataan ini tidak bermaksud untuk  mendiskreditkan atau mengecam, tapi sebagai bentuk nasihat terhadap sesama Muslim.

Maarif Institute menganjurkan agar Walkot dan Wawakot Cilegon menaati konstitusi dan undang-undang serta memberi kebebasan kepada warga negara yang berada di wilayah Cilegon untuk memeluk agama dan beribadah sesuai perintah agamanya masing-masing.

"Jangan bertindak diskriminatif, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan suatu kelompok penganut agama, dan mengabaikan kebutuhan kelompok penganut agama yang lain. Jadilah negarawan sejati yang senantiasa berpikir, berkata, dan bertindak untuk kepentingan semua warga negara," jelasnya.

Rekomendasi