Peringatan 20 Tahun Reformasi: Soros Pemicu Krisis Moneter
Peringatan 20 Tahun Reformasi: Soros Pemicu Krisis Moneter

Peringatan 20 Tahun Reformasi: Soros Pemicu Krisis Moneter

By akuntono | 21 May 2018 12:28
Pada 20 tahun lalu, Indonesia berada di masa kelam saat terjadi kerusuhan sosial sebagai dampak dari kesulitan ekonomi yang panjang. Kini, era.id mengajak kamu membaca lagi sepak terjang George Soros yang dituding jadi biang keladi krisis moneter di Indonesia dan beberapa negara Asia sebagai rangkaian peringatan 20 tahun reformasi.

Jakarta, era.id - Banyak cerita perihal krisis ekonomi Indonesia pada 1998, atau lebih akrab disebut 'krismon' itu disebut-sebut sebagai salah satu momen tersulit yang pernah dialami bangsa ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Kala menjadi pembicara di Kantor Pusat Ditjen Pajak, akhir Oktober 2017, Sri Mulyani bercerita, penyebab utama krismon adalah neraca pembayaran yang tidak seimbang.

"Terutama di Asia dengan nilai tukar yang tidak fleksibel, terus direkomendasikan dengan capital flow yang bebas, tidak ada sinkronisasi dari kurs dan capital inflow, dan ketidaksinkronan itu memunculkan spekulasi dan nilai tukar drastis, 1998 menjadi pembelajaran berharga. Banyak negara mengubah policy (terkait nilai tukar)," kata Sri Mulyani.

Selain Indonesia, mantan pemimpin Malaysia, Mahathir Mohammad juga menceritakan kegeramannya menghadapi masalah ekonomi yang juga diderita negerinya. Pada saat itu, Mahathir dengan frontal menuding spekulan adalah biang keladi dari semua krisis tersebut. Tudingan Mahathir mengarah ke George Soros, Manajer Hedge Fund (pengelola investasi global). Mahathir membenci sikap Soros yang berusaha berdagang menggunakan mata uang negara asing dan meninggalkan jejak yang merugikan negara tersebut.

Baca Juga: Menit-menit Mundurnya Soeharto

"Tidak ada gunanya memperlakukan mata uang seperti komoditas, mendevaluasi secara artifisial dan menyebabkan banyak kemiskinan di antara negara-negara miskin," ujar Mahathir dilansir dari Bloomberg saat memperingati 20 Tahun Krisis Ekonomi Malaysia, Juli 2017.

Soros dan kejatuhan ekonomi ASEAN

Keterlibatan Soros terhadap runtuhnya perekonomian Indonesia pada krisis moneter 1998 boleh jadi tidak bersifat secara langsung. Akan tetapi, pertaruhan yang dia lakukan terhadap Bath, mata uang Thailand, membuat tragedi krisis ekonomi seantero ASEAN lahir dan menyebar.

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada 1998 sebenarnya adalah efek domino. Tidak hanya Indonesia, negara-negara Asia lain seperti Thailand, Malaysia, Filipina, hingga Korea Selatan mengalami hal yang sama.

Krisis Asia dimulai pada Agustus 1997. Baht dihadapkan pada situasi yang mendorongnya melakukan peminjaman dalam bentuk dolar AS. Akan tetapi, dolar AS malah makin menguat dan membuat investasi lokal Thailand semakin kesusahan untuk memenuhi tanggung jawab utang menggunakan dolar AS.

Dilansir dari Bussiness Insider (Here's how George Soros broke the Bank of Thailand), situasi ekonomi Thailand yang memburuk membuat nilai Baht terhadap dolar AS membuat inflasi hingga 60 persen. Gelombang spekulasi tercipta di mana mata uang Asia lainnya seperti Rupiah Indonesia, Ringgit Malaysia, dan Peso Filipina terkena inflasi masing-masing 47 persen, 35 persen, dan 34 persen.

Baca Juga: Rupiah Masa Orde Baru

Apa artinya? Bayangkan, nilai tukar 100 dolar AS pada 1996 setara dengan Rp200 ribu. Tapi nilai tukar dolar AS pada 1998 melambung hingga di atas Rp15 ribu per dolar AS atau 100 dolar AS setara Rp1.500.000. Jika kamu punya lebih dari 100 dolar AS saat itu, inflasi terus meninggi dan kamu menukarkan semua dolar yang kamu punya sekaligus, kamu bakal jadi orang kaya baru.

Ilustrasi itu, meskipun tidak sama persis, terjadi dalam krismon 1998 karena ulah spekulan yang berupaya menangguk keuntungan dari nilai inflasi mata uang.

Thailand jadi sasaran

Dalam kasus The Quantum Fund, salah satu perusahaan hedge fund milik Soros, perusahaan ini melihat adanya celah dari perekonomian negara-negara ASEAN yang kurang peka soal inflasi nilai mata uang ini. Soros disebut-sebut menyasar Thailand.

Cerita dimulai saat Soros meminjam kurang dari 1 miliar Bath tapi dalam bentuk dolar AS untuk kebutuhan investasi kepada Bank of Thailand. Kalau kamu memiliki pengalaman di bidang valas, kamu akan memandang peminjaman Soros adalah pertaruhan besar untuk mendapatkan keuntungan dari spekulasinya bermain pada ranah mata uang Bath.

Tetapi, Soros bukan orang bodoh. Dia sudah bisa memprediksi (atau mungkin ikut mendorong) terjadinya krisis ekonomi tersebut. Dari pinjaman uang dolar senilai 1 miliar Baht tersebut, saat krisis tengah bergejolak, Soros malah mampu meraup 12 miliar Bath.

Kok bisa? Saat krismon, nilai mata uang Baht terjun bebas di hadapan dolar AS. Di sini, Soros langsung menukarkan sejumlah besar valuta dolar AS pinjamannya (yang hampir 1 miliar Baht di awal) kepada Bank Thailand.

Baca Juga: Tanggung Jawab Pemuda Kini untuk Reformasi

Akibat adanya gejolak nilai mata uang, maka nilai tukar dolar AS yang digunakan Soros tersebut pun ikut beranjak naik menjadi 12 miliar Baht, lebih dari cukup untuk melunasi utang beserta seluruh bunganya di awal.

Apa yang dilakukan Soros adalah spekulatif terhadap besarnya inflasi dan koreksi mata uang asing. Apesnya, Thailand menjadi salah satu korban pertama yang terkena imbas krisis ini. Bayangkan, secara tiba-tiba, Thailand harus menyiapkan uang sebesar '12 miliar Baht hanya untuk Soros.

Itu baru Soros, spekulan lain dan orang-orang yang melakukan rush (penarikan uang dalam jumlah besar) juga turut mendorong perekonomian Thailand makin engap-engapan

Singkatnya, di satu sisi, negara tidak punya uang sebanyak itu, dan tidak mungkin asal cetak uang karena ada prinsip keseimbangan uang yang mengatur tentang distribusi dan persebaran uang di wilayah dalam waktu tertentu. Di sisi lain, harga-harga produk semuanya terkerek naik dan uang diperlukan untuk membeli produk tersebut. Nah piye?

Belum lagi, utang luar negeri kebanyakan negara Asia umumnya dalam mata uang dolar AS. Secara angka, nominal utang mereka tetap, tetapi nilai utang mereka naik drastis sesuai ilustrasi di atas. Kondisi inilah yang terjadi pada Thailand, Indonesia, Filipina dan sejumlah negara lainnya.

Soros lalu berujar bahwa kesalahan yang dilakukan oleh berbagai bank sentral di Asia adalah sikap tertutup bank terhadap investor asing saat nilai mata uangnya naik.

"Misalnya dengan menjual Baht Thailand pada Januari 1997, The Quantum Fund memahami bahwa sinyal pasar Baht terlalu tinggi. Thailand sendiri tidak menjaga cadangan mereka yang semakin menurun (terhadap pergerakan dolar AS), dan malah fokus untuk memagari kami (memastikan hutang dibayar lunas)," tulis Soros dilansir dari Bussiness Insider.com.   

Baca Juga: Tangis Soeharto untuk Sudono

Sisi lain Soros

Soros memang salah satu biang keladi krisis moneter, tapi apakah semua tentang Soros itu buruk?

Apabila kita membaca biografi dari sosok George Soros, nilai humanis lebih mudah untuk didapatkan dibanding segala aktivitas ekonominya yang banyak dikutuk.

Pada 1930, Soros lahir di Hongaria, sebuah negara di Eropa timur. Di usia mudanya, Soros telah melewati berbagai macam penderitaan akibat pendudukan dan sikap politik Nazi yang tidak kompromi terhadap rasnya, Yahudi. Dengan surat identitas palsu, Soros dan keluarganya selamat dari pembantaian Nazi dan meninggalkan tanah air menuju London, untuk berkuliah di London School of Economics.

Setelah mengenyam pendidikan di Inggris, dia memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat dan berkarier dalam dunia keuangan dan investasi yang menjadi awal mula keberhasilan kariernya.

George Soros benar-benar menemui kesuksesan dalam bidang hedge fund (bisnis pengelolaan modal/ kapital). Di tangannya, hedge fund miliknya, The Quantum Fund menjadi salah satu hedge fun terbaik di dunia.

Baca Juga: 20 Tahun Reformasi: Ramai-ramai Pergi dari Indonesia

Berbagai investor dari seluruh dunia berlomba-lomba menunjuk The Quantum Fund menjadi hedge fund dari investasinya. Dilansir dari Bussiness Insider, The Quantum Fun mampu memberikan keuntungan hingga 30 persen pada para investornya melalui aktivitas spekulasinya dalam berbagai aktivitas ekonomi, terutama perdagangan mata uang.

Di samping membangun kegiatan hedge fund-nya, Soros mengelola kekayaan yang dia dapatkan melalui kegiatan filantropis. Open Society Foundations adalah sebuah yayasan yang mencerminkan pengaruh pemikiran Soros tentang filsafat Karl Poper yang ia pelajari saat menempuh studi di London School of Economics. Karl Poper membuat sebuah buku berjudul Open Society dan Its Enemies, yang menjadi inspirasi yayasan milik Soros.

Dari buku tersebut, Soros meyakini bahwa tidak ada ideologi yang menjadi kebenaran hakiki dan masyarakat dituntut berkembang dan membangun sebuah pemerintah yang demokratis. Soros percaya masyarakat terbuka mampu menjamin kebebasan berekspresi dan menghormati hak-hak individu.

Soros memulai aktivitas filantropisnya dengan memberikan beasiswa kepada warga kulit hitam Afrika Selatan yang masih kental soal apartheid pada akhir 1979. Selain itu, Soros juga melakukan kegiatan filantropisnya di Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Asia.

Soros berfokus pada penyebaran nilai-nilai demokrasi. Bagi Soros, kegiatan filantropis yang ia lakukan adalah upaya untuk membangun dunia yang lebih baik.

”Berusaha untuk membangun dunia lebih sulit daripada menghasilkan uang,” ujar Soros, melalui video profil Open Society Foundation.

Pada 2017, Open Society Foundation mencatat bahwa Soros telah mengeluarkan dana abadi sebesar 18 miliar dolar AS dari kekayaannya untuk membiayai masa depan yayasan. Dengan tambahan dana tersebut, maka Soros telah mengeluarkan uang mencapai 30 miliar dolar AS sejak 1984 untuk berbagai kepentingan dari kocek pribadinya.

 

Rekomendasi
Tutup