Pemerintah Didesak Cabut Tindak Pidana Khusus dari RKUHP
Pemerintah Didesak Cabut Tindak Pidana Khusus dari RKUHP

Pemerintah Didesak Cabut Tindak Pidana Khusus dari RKUHP

By Ahmad Sahroji | 03 Jun 2018 18:22
Jakarta, era.id - Percepatan pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang rencananya akan disahkan pada 30 Agustus 2018 mendatang, mendapat penolakan dari sejumlah pihak.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menyebut, percepatan tersebut mengundang banyak penolakan karena masih banyak permasalahan dalam perumusan pasal-pasal di RKUHP.

"Jika dimasukkan ke dalam RKUHP, diskresi aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal pidana akan semakin besar. Selain itu, ada inkonsistensi dari pembuat UU dalam menentukan jenis pidana khusus apa yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam RKUHP," kata Lalola di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (3/5/2018).

Dalam RKUHP, setidaknya ada empat tindak pidana khusus yang penerapannya akan terganggu yakni narkotika dan psikotropika, lingkungan hidup, korupsi, serta pelanggaran HAM berat.

Baca Juga : Panja RKUHP: Pasal Tipikor Tak Ganggu Kewenangan KPK

Narkotika dan psikotropika

Anggota Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) Alfiana Qisthi menyebut, pemindahan ketentuan pidana UU Narkotika ke RKUHP justru akan mengakibatkan penanganan permasalahan narkotika menjadi tidak utuh.

"Jika hal ini dimasukkan ke dalam RKUHP ini akan menjadi rezim penanganan permasalahannya semata-mata hanya pendekatan penghukuman, bukan rehabilitasi. Pasal ini akan menggiring lebih banyak lagi pengguna narkotika ke dalam penjara yang dampaknya justru tidak menimbulkan efek jera bagi penggunanya," tutur Alfina.

Alfina menambahkan, rehabilitasi dalam RKUHP bermakna sanksi pidana. Hal ini, lanjut dia, akan menghambat program pemerintah untuk menciptakan kebijakan rehabilitasi yang berkelanjutan. 

Korupsi

Peneliti ICW Lalola Easter menyebut pemasukkan pasal UU tentang Tindak Pidana Korupsi ke dalam RKUHP berpotensi melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meskipun dalam Pasal 729 RKUHP menyatakan akan membuka peluang kewenangan lembaga independen tetap menangani tindak pidana khusus.

"Tapi balik lagi ke diskresi, kalau ada dua norma antara UU Tipikor dan RKUHP atas pasal pidana yang sejenis, ini akan menimbulkan ketidakjelasan diskresi penegak hukum. Malah akan ada kemungkinan munculnya perilaku transaksional yang cenderung koruptif, ini kan sesuatu yang sudah banyak diketahui umum namun sulit pembuktiannya," jelas Lalola.

Baca Juga : KPK: Tipikor Masuk RKUHP, Pemberantasan Korupsi Mundur

Lingkungan hidup

Anggota Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Marsya menerangkan, masuknya rumusan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP menjadi suatu kemunduran karena tidak berprespektif lingkungan. Menurutnya, ada ketidakjelasan sanksi dan tujuan pemidanaan bagi pelaku korporasi dalam tindak pidanan lingkungan hidup dalan RKUHP.

"Pidana denda bagi pelaku korporasi memang besar, tetapi tidak ada jaminan bahwa denda tersebut akan dimanfaatkan untuk kepentingan pemulihan lingkungan," ujarnya.

Pelanggaran HAM berat dan genosida

Aktivis Kontras Putri Kanesia mengatakan, pemasukan kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan dalam RKUHP akan menghalangi penuntutan hukuman yang efektif.

"Ancaman pidana dalam UU pelanggaran HAM diatur bahwa ancaman pidana minimal 10 tahun maksimal 25 tahun. Sementara dalam RKUHP ini justru menurunkan 5 tahun sampai 20 tahun. Jadi, derajat kejahatannya ancamannya jadi semakin berkurang," kata Putri.

"Selain itu, pasal 680-683 RKUHP tidak mengatur terkait mekanisme ganti kerugian. Bagaimana korban-korban yang sudah mengalami onderitaan kelurganya hilang meninggal tetapi tidak mendapat ganti kerugian," lanjutnya.

Untuk itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari ICJR, ICEL, ICW, PKNI, Kontras, dan LBH Masyarakat, merekomendasikan agar pasal tindak pidana khusus seperti narkotika dan psikotropika, korupsi, pelanggaram HAM, dan lingkungan hidup dicabut dari RKUHP oleh pemerintah dan DPR.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP lebih memfokuskan pada perubahan UU sektoral ketimbang memasukkan pasal tindak pidana khusus dalam RKUHP.

Rekomendasi
Tutup