Membaca Sikap Warganet soal Pelecehan Via Vallen

| 06 Jun 2018 13:31
Membaca Sikap Warganet soal Pelecehan Via Vallen
Via Vallen (Foto: Instagram)
Jakarta, era.id - Pedangdut Via Vallen menjadi korban pelecehan seksual online oleh pesepak bola Indonesia. Hal itu terungkap melalui foto tangkapan layar yang diunggah Via dalam akun Instagramnya.

Sang pelaku mengirimkan pesan pribadi ke akun Instagram Via dan menyebut, "Saya ingin kamu berada di kamar tidurku, memakai pakaian seksi," dalam bahasa Inggris.

Via yang mengaku tidak mengenal dan tak pernah bertemu dengan pengirim pesan, merasa terkejut dan dipermalukan. Ia juga mengklaim telah memblokir akun pesepak bola yang hingga kini belum diketahui secara pasti identitasnya ini.

Instastory Instagram Via Vallen 

Langkah Via tersebut menuai pro dan kontra dari warganet. Sebagian mendukung keberanian Via untuk mengungkap pelecehan yang menderanya. Namun, tak banyak pula yang menyayangkan keputusan Via, bahkan merundung dan menyebut Via hanya mencari perhatian.

Melihat hal itu, Aktivis Feminisme Tunggal Pawestri menyebut, budaya menyalahkan korban atau victim blaming di Indonesia masih sangat kuat. Hal ini banyak terjadi dalam berbagai kasus pelecehan seksual, bahkan perkosaan. Banyak pihak yang masih menyalahkan korban perkosaan, seperti misalnya menyalahkan pakaian korban.

Menurut Tunggal, budaya ini berdampak pada semakin sedikitnya korban pelecehan atau kekerasan seksual yang berani melapor. Budaya inilah yang hingga kini masih terus dilawan oleh pegiat isu perempuan. 

"Budaya ini juga membuat teman-teman korban merasa bahwa ia yang bersalah dalam kekerasan yang terjadi kepadanya, dan ini merusak mental korban," kata Tunggal saat dihubungi era.id, Rabu (6/5/2018).

Tunggal menyayangkan banyaknya pihak yang justru menyudutkan pelantun lagu Sayang itu. Meski demikian, ia mengakui, hal ini muncul lantaran pelecehan seksual di Indonesia dianggap wajar saking banalnya.

"Itu narasi yang sering muncul di orang-orang yang memang merasa perempuan adalah objek seksual," ujarnya.

Ia menambahkan, masyarakat Indonesia saat ini juga belum paham mengenai sexual advance dan sexual harassment. Banyak yang berpendapat semestinya Via tak bicara di publik lantaran apa yang dilakukan pelaku hanyalah bagian dari sexual advance yang dianggap wajar.

"Sexual advance adalah sebuah tindakan penjajakan seksual yang biasanya dilakukan saat sudah saling kenal dekat atau berinteraksi dengan intens," jelas Tunggal.

"Tapi apa yang diterima oleh Via Vallen bukan sexual advance, melainkan sexual harassment karena ia tidak mengenal atau bukan dalam sebuah penjajakan dengan laki-laki ini," lanjutnya. 

Secara pribadi, Tunggal mendukung langkah Via untuk melawan pelaku pelecehan seksual. Mengungkap tindakan pelecehan online ke publik adalah salah satu cara yang efektif untuk membuat jera pelaku.

Keberanian Via untuk mengungkap kasus yang dialaminya ke publik juga diakui Tunggal bukan merupakan hal mudah. Risiko rundungan dari warganet kerap kali membuat korban pelecehan memilih untuk bungkam. Keberanian Via patut dicontoh oleh para perempuan pekerja seni lainnya. 

"Via Vallen hebat. Saya yakin pelecehan atau bahkan kekerasan seksual kerap dihadapi oleh para perempuan pekerja seni," katanya.

Sanksi untuk Pelaku

Untuk membuat efek jera pada pelaku, Tunggal menyebut, salah satunya bisa dilakukan dengan mengungkap kasus pelecehan seksual ke publik. Selain itu, pelaku harus ditegur secara keras oleh lembaga atau institusi tempatnya bekerja. 

"Jangan sampai institusi yang ia wakili dianggap melestarikan perbuatan itu dengan mendiamkannya," kata Tunggal.

Tunggal menegaskan, pengungkapan kasus pelecehan seksual merupakan tugas bagi seluruh masyarakat, tak terkecuali kaum laki-laki.

"Peran laki-laki menjadi penting juga, untuk mengingatkan sesama teman-temannya mengenai persoalan-persoalan ini. Jangan anggap ini sebagai sebuah kewajaran," tandasnya.