"Jadi saya gak ada urusan, itu kan 97 dan 98, sedangkan saya 2002. Jadi BLBI itu enggak ada kaitan dengan saya," tutur Syarifuddin di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (21/6/2018).
Ia mengatakan, pada kasus ini dirinya sama sekali tidak menggunakan dana BLBI yang digelontorkan untuk 54 bank di Indonesia di saat krisis ekonomi kala itu. "Kan jelas bahwa BLBI itu disalurkan oleh BI, digunakan oleh bank, bukan saya yang menggunakan. Enggak relevan dengan saya," tuturnya.
Syarifuddin menambahkan, dana BLBI memang banyak mengalami penyelewengan saat digelontorkan kepada 54 bank yang tidak sehat tersebut. Hingga akhirnya, ia justru mempertanyakan mengapa jajaran direksi bank yang bersangkutan tidak ada yang diperiksa secara hukum.
Baca Juga : KPK : Persidangan BLBI Masuk Babak Baru
"Oh iya, pada waktu pemeriksaan yg lalu, PH (penasihat hukum) saya sudah menyampaikan bahwa 98 persen BLBI yang disalurkan itu menyimpang. Ini yang menyimpang itu adalah pengguna BLBI, yakni pemilik bank dan juga komisaris direksinya, dan semua itu pidana. Saya tanya sekarang, dari antara segitu banyak, siapa yang sudah ditindak hukum?" tanyanya.
Namun, dalam dakwaan, sebagai mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, SAT pernah mengeluarkan SKL senilai Rp4,58 triliun terhadap salah satu obligor BLBI yang pernah hampir kolaps, Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI. Padahal, piutang tersebut tidak pernah dilunasi Sjamsul hingga menyebabkan negara mengalami kerugian dalam nilai tersebut.
Baca Juga : KPK Tolak BLBI Disebut Perkara Perdata
Atas perbuatannya, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31, Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1.