Kuasa Hukum Aman, Asrudin Hatjani mengaku keberatan dengan hukuman tersebut. Menurutnya, hukuman tersebut berlebihan karena majelis hakim tidak mempertimbangkan pernyataan saksi Saiful Muthohir alias Ahmad Hariyadi alias Abu Gar yang menyebut Aman bukanlah orang yang mengajarkan untuk amaliah.
Abu Gar sendiri adalah salah seorang pelaku bom Thamrin yang terlebih dulu ditangkap dan dipenjara di Nusakambangan. Abu Gar telah dijatuhi hukuman 9 tahun penjara karena terbukti sebagai penyalur dana dan fasilitator senjata api dalam aksi yang menewaskan delapan orang itu, termasuk empat pelaku. Abu Gar sempat memberi kesaksian dalam sidang Aman Abdurrahman.
"Ini berlebihan karena berdasarkan bukti hanya bukti sempalan saja yang diambil, pernyataan Abu Gar yang menerima pesan dari ustad Aman bahwa ada pesan dari Atnani untuk melakukan amaliah seperti di Perancis, itu saja yang dipakai untuk menghubungkan, tapi itu Abu Gar sendiri menyatakan bahwa pesan itu sebelumnya pernah ia ketahui, bukan dari ustad Aman," kata Asrudin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/6/2018).
Usai sidang, Asrudin berminat untuk banding. Namun upaya Asrudin tersebut ditolak oleh Aman, sambil mengangkat tangan ke arah Asrudin, Aman seakan mengisyaratkan bahwa Asrudin tidak perlu banding.
Aman Abdurrahman saat menjalani sidang kasus teror. (Leo/era.id)
Sujud syukur Aman
Asrudin menerangkan sebelum sidang putusan, dirinya sempat bertemu dengan Aman. Dalam kesempatan itu, Aman bercerita kepadanya, dia bernazar akan sujud syukur jika majelis hakim memberinya hukuman mati.
"Saat saya bertemu, janjinya sebelum sidang jika dia dihukum mati dia akan sujud syukur," ujar Asrudin.
Menurut Asrudin, arti sujud syukur Aman pasca pembacaan putusan adalah bentuk kepasrahan dirinya terhadap sang khalik. Katanya juga, Aman siap diberi hukuman apapun, karena hakikatnya dia tidak mempercayai hukum Indonesia dan lebih percaya pengadilan di hadapan Allah.
Asrudin pun membantah tudingan yang menyebut arti sujud syukur Aman bentuk kebanggaan atas apa yang sudah diperbuatnya.
"Dia berserah diri, itulah bahasa mereka, dia tidak menerima dan tidak menolak hukuman, karena dia tidak percaya dengan adanya peradilan," kata Asrudin.
"Dia siap dihukum mati tapi dia menolak dikaitkan dengan bom Thamrin," tambahnya.
Selama pembacaan amar dan pertimbangan putusan, tidak ada satu pun hal yang merujuk pada pertimbangan meringankan. Semuanya berisi pertimbangan yang memberatkan. Pertimbangan meringankan saat pledoi kemarin pun sudah ditolak semua oleh majelis hakim.
Baca Juga : Pelaku Teror Bom Thamrin Aman Abdurrahman Divonis Mati
Meski demikian, Asrudin menghormati semua putusan yang diberikan walaupun tidak sependapat dengan vonis yang dijatuhkan. Selain itu, Asrudin juga meyakini bahwa dalam pengambilan putusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan keputusan politik.
"Apakah putusan ada aroma politis? Saya menghormati putusas walaupun tidak sependapat," imbuh Asrudin.
Setelah sidang Aman langsung dibawa ke Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, belum diketahui kapan hukuman mati tersebut dilaksanakan. Namun rencananya, Asrudin akan bertemu dengan Aman lagi untuk berkonsultasi tentang perlu tidaknya diadakan upaya banding.
Baca Juga : Sniper Jaga Sidang Aman Abdurrahman
Sebelumnya, Majelis Hakim Jakarta Selatan memvonis hukuman mati untuk Aman Abdurrahman. Vonis yang diberikan majelis hakim sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut terdakwa dengan hukuman mati.
Jaksa meyakini Aman Abdurrahman terbukti bersalah melanggar Pasal 14 Jo Pasal 6 Perppu No 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan sebagai UU 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan dakwaan kedua Primer Pasal 14 Jo Pasal 7 Perppu No 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan sebagai UU 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
JPU tidak melihat ada satu pun hal meringankan Aman Abdurrahman. Buat tim JPU, Aman Abdurrahman diyakini sebagai otak penganjur dan penggerak kepada para pengikutnya untuk melakukan jihad Amaliyah teror. Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Kampung Melayu, Jakarta Timur, ataupun yang terjadi di Samarinda, Kalimantan.