Sebabnya, total anggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 naik menjadi Rp15,2 triliun, melangkahi biaya Pilkada 2017 Rp4,2 triliun dan Pilkada 2015 Rp7,1 triliun.
Bahkan, biaya pesta demokrasi yang akan berlangsung pada 2018 itu berpotensi tembus Rp20 triliun.
Saat ini anggaran Pilkada 2018 mencapai Rp15,2 triliun, rinciannya anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rp11,9 triliun, Badan Pengawas Pemilu Rp2,9 triliun, dan pengamanan TNI-Polri mencapai Rp339,6 miliar.
Alasan terbesar membengkaknya anggaran adalah luasnya cakupan Pilkada 2018 yang mencapai 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Berbeda dengan Pilkada tahun sebelumnya yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten, sedangkan Pilkada 2015 digelar di 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten.
Kendati demikian, terlepas dari banyaknya daerah yang menggelar pilkada pada 2018, besarnya anggaran tetap disorot.
Direktur Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mempertanyakan apakah Rp20 triliun akan melahirkan pemimpin daerah yang mampu membangun daerahnya, atau malah pemimpin daerah itu nantinya terlibat korupsi.
Salang menjelaskan, hingga Desember 2017, ada sekitar 340 kepala daerah di tingkat kabupaten dan 18 gubernur di Indonesia terjerat kasus korupsi.
Dia merasa aneh, pemilihan langsung yang diharapkannya membuat demokrasi menjadi lebih baik terpaksa berbiaya mahal dengan kualitas dan integritas pemimpin daerah yang masih dipertanyakan.
"Itu kan catatan yang sangat miris. Di satu sisi kita mengeluarkan biaya yang sangat besar tapi hasilnya justru memilih orang yang ujung-ujungnya menjadi terpidana pelaku korupsi," kata Salang kepada era.id, Minggu (4/11/2017).
Dia juga membandingkan mewahnya biaya penyelenggaraan Pilkada di Indonesia dengan negara lain. Salang menilai, negara lain mengalokasikan anggaran besar untuk riset dan teknologi agar masyarakatnya lebih maju sementara di Indonesia anggaran besar digelontorkan untuk pilkada.
"Jadi bisa dipahami kalau demokrasi kita ini dinilai sebagai demokrasi yang sangat mahal," ucap dia.
Besarnya anggaran Pilkada 2018 juga disorot Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Titi mempertanyakan efisiensi, untuk apa saja alokasi dana besar Pilkada serentak 2018.
Dari total anggaran Pilkada 2018 yang berpotensi tembus Rp20 triliun, dia mendorong penggunaannya transparan dan akuntabel.
Titi bahkan meminta penggunaannya tercatat rinci, mulai dari alokasi belanja, tender, hingga siapa penerima manfaatnya. Dia meminta Bawaslu menepati janji membuka anggaran dan penggunaannya agar publik bisa ikut mengawasi.
Dari seluruh pos anggaran pilkada, kata Titi, honorarium menjadi pos anggaran yang paling disoroti. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, komponen honorarium menyumbang persentase terbesar lonjakan biaya pilkada.
Faktor utamanya adalah banyaknya struktur kepegawaian dalam kelompok-kelompok kerja penyelenggara Pilkada 2018.
Menurut data Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Pilkada 2015 mengalokasikan anggaran honorarium rata-rata Rp29,3 miliar per daerah, pada Pilkada 2017 mencapai Rp58,91 miliar per daerah, sementara untuk Pilkada 2018 naik sebesar Rp88,6 miliar per daerah.
Anggaran honorarium itu menyedot sekitar 60 persen dari total anggaran Pilkada 2018. Honor diberikan mulai dari penyelenggara pemilu di pusat hingga Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), hingga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Titi mengatakan, dana honorarium sepatutnya disikapi dengan tata kelola anggaran yang bertanggung jawab. Selain melalui sistem transparansi, penyelenggara pilkada juga harus berintegritas.
"Kalau dari proses penyelengaraan pilkada diselenggarakan dengan integritas. Jadi penyelenggara tidak boleh main-main dengan anggaran sebesar itu. Karena bukan biaya yang sedikit untuk menyelenggarakan pilkada," kata Titi.
Selain itu, partai politik yang difasilitasi untuk berkompetisi merebut kekuasaan secara konstitusional juga harus mawas diri. Titi beranggapan, ada unsur yang patut ditekankan kepada partai politik terkait anggaran yang didapat. Pertama, pemanfaatan alokasi dana yang sesuai dengan Undang-undang Pemilu. Kedua, indikator prestasi calon pemimpin daerah yang diusung dalam Pilkada.
"Ini kan ibaratnya investasi negara, bukan sebagai menghambur-hamburan uang. Investasi negara untuk mendapatkan kepala daerah yang melayani masyarakat. Profesional di dalam menyelenggarakan pemerintahan," tutup Titi.