Hasilnya, KPPOD menemukan sejumlah indikasi kecurangan, termasuk yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di pusat ataupun di daerah. Peneliti KPPOD, Budi Reza menjelaskan, salah satu kecurangan yang kerap melibatkan KPU adalah manipulasi daftar pemilih tetap (DPT).
Dalam permainannya, manipulasi DPT biasanya dilakukan dengan menggelembungkan suara, di mana suara yang ada biasanya direkayasa hingga melebihi jumlah penduduk yang semestinya. Kata Budi, ranah birokrasi pun punya andil secara enggak langsung dalam kecurangan ini.
Menurutnya, sistem e-KTP yang enggak kunjung beres bisa jadi salah satu celah yang memungkinkan manipulasi DPT ini terjadi. Seperti yang terjadi di Sulawesi Tenggara misalnya, di mana indikasi manipulasi DPT terjadi menyusul belum selesainya 200 ribu e-KTP.
"Di Sultra (Sulawesi Tenggara) itukan ada e-KTP yang belum kelar, sekitar 200 ribu. Sempat ada indikasi permainan di DPT, yang terbuka permainannya pas pembukaan DPT. Kalau KPU di situ biasanya permainannya," kata Budi yang ditemui di bilangan Menteng, Minggu (24/6/2018).
Selain manipulasi data, KPPOD juga menemukan bentuk kecurangan lain, yakni coblos ulang. Modus kecurangan ini dilakukan oleh sejumlah orang yang melakukan pencoblosan di sejumlah TPS berbeda. "Kalau menurut saya pribadi yang krusial di DPT Itu," kata Budi.
"Bisa jadi di-markup, bisa juga diulang. Satu orang nyoblos beberapa kali di TPS yang berdekatan, itu yang saya dengar di Sultra," tambahnya.
Meski mencatat sejumlah indikasi kecurangan, KPPOD enggak bisa berbuat apa-apa, sebab hal tersebut merupakan domain dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Budi bilang, dalam hal ini KPPOD cuma berbagi. Ia memastikan, KPPOD hanya akan berfokus mengurusi politisasi birokratik.
Manipulasi DPT boleh jadi merupakan kecurangan paling krusial. Tapi, politisasi birokratik pun begitu genting untuk diberantas. Lihat saja dugaan penerimaan sejumlah uang dan manipulasi jumlah suara yang dilakukan mantan Komisioner KPU Periode 2004 dan 2009, Anas Urbaningrum dan Adi Nurpati. Soal itu, Budi enggan berkomentar, meski ia mengakui sempat mendengar hal tersebut.
Soal kekhawatiran banyak pihak soal mobilisasi aparat keamanan seperti polis dan TNI, Budi mengaku enggak menemukan hal tersebut. Memang, semenjak hak politik --dicoblos atau pun mencoblos-- polisi dan TNI dicabut, potensi kecurangan dari aspek tersebut berhasil ditekan. "Mereka kan sudah enggak punya hak pilih, kalau dicoblos malah lebih bahaya," tuturnya.
Infografis "Parpol Peserta Pemilu" (era.id)