JK Dipastikan Tak Bisa Dampingi Jokowi Lagi
Hal ini memupus harapan sejumlah kelompok masyarakat yang ingin Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali mendampingi Presiden Joko Widodo di Pilpres 2019.
Baca Juga: Demokrat Ingin JK-AHY Jadi Pasangan Pilpres 2019
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai keputusan MK adalah wajar mengingat UU Pemilu selaras dengan UUD 1945.
"Karena itu kan menguji UU Pilpres terhadap UUD. UU Pilpres selaras dengan UUD 45, tidak bertentangan," jelasnya kepada era.id, di Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Jika masyarakat ingin JK kembali mendampingi Jokowi, kata Ujang, maka yang harus diubah adalah UUD 1945. Namun, hal tersebut nampaknya hanya angan belaka lantaran mengubah UUD 1945 bukan perkara mudah dan butuh waktu yang lama. Oleh karenanya, dapat dipastikan, JK tak bisa kembali menjadi pasangan Jokowi.
"Karena sudah dua periode, walaupun tidak berurutan. Jadi Jokowi harus mencari calon pendamping lain untuk Pilpres 2019," tuturnya.
Kendati begitu, kata Ujang, peluang JK masih terbuka lebar jika dirinya bersedia maju sebagai calon presiden. Apalagi, belakangan mencuat spekulasi majunya JK dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Pilpres 2019, pasca pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan JK di kediaman SBY, Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (25/6/2018) kemarin.
"Jadi yang dibolehkan Pak JK adalah sebagai calon presiden. Makanya (Partai) Demokrat mewacanakan mengusung JK-AHY. JK sebagai capres dan AHY sebagai cawapresnya, ini baru boleh," terang Ujang.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menilai ditolaknya uji materi oleh MK bukan merupakan hal yang mengejutkan. Pasalnya, peraturan yang tertulis dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 sudah jelas risalahnya.
Baca Juga: Wapres Jusuf Kalla Terima Kunjungan Anwar Ibrahim
Menurut Arsul, justru aneh jika MK menerima gugatan tersebut, lantaran tak ada dasarnya. Kecuali, jika risalah amandemen mengandung perbedaan yang patut diperdebatkan, maka penerimaan uji materi masih dimungkinkan.
"Kecuali kalau dalam risalah amandemennya pada saat itu ada perbedaan, misalnya perbedaan itu ada perdebatan," tandasnya.