Menelusuri Jejak DN Aidit, Pemimpin Terakhir PKI yang Pandai Mengaji

ERA.id - Membicarakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tak lengkap jika tak membahas jejak DN Aidit. Dia merupakan politikus dan menjadi pemimpin terakhir PKI.

DN Aidit (Wikimedia Commons)

Dipa Nusantara Aidit (biasa disingkat DN Aidit) lahir dengan nama Achmad Aidit di Belitung pada 30 Juli 1923. Melalui kepemimpinannya, tahun 1960-an, PKI menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRC dan Uni Soviet.

Dalam sudut pandang sejarah Indonesia, DN Aidit dinilai sebagai sosok antagonis yang dituduh menjadi dalang peristiwa G30S. Selaku pemimpin PKI yang terakhir, Aidit memang pernah mengaku bertanggung jawab atas peristiwa G30S, tetapi kemudian hal tersebut disangkal oleh tokoh lain, dikutip Era dari Kompas.

Jejak DN Aidit yang Rajin Beribadah

DN Aidit adalah anak pertama pasangan Abdullah Aidit dan Mailan. Abdullah merupakan anak dari anak Haji Ismail, pengusaha ikan yang terbilang sukses. Sementara, Mailan merupakan anak dari Ki Agus Haji Abdul Rachman, salah satu ningrat di Belitung. Ki Agus Haji Abdul Rachman dikenal sebagai tokoh Islam di Belitung dan pernah menjadi anggota DPRD dari Partai Masyumi.

Dikutip dari Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, DN Aidit kecil dikenal sebagai anak yang rajin beribadah dan pandai mengaji. Adit juga menjadi muazin di musala tempatnya mengaji.  

DN Aidit menempuh pendidikan pertamanya di Hollandsche Inlandsch School (HIS). Pada awal 1936, sang ayah memintanya melanjutkan sekolah di Jakarta, yaitu di di Middestand Handel School.

DN Aidit tinggal di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, selama tiga tahun bersama kerabat ayahnya. Kemudian, dia pindah ke Senen untuk tinggal bersama saudaranya, Murad, dan bersama-sama mencari pekerjaan demi tambahan uang.

Pada masa tersebut, Aidit menjadi orang yang aktif di sejumlah kelompok pergerakan, seperti Persatuan Timur Muda. Di kelompok tersebut, Aidit kemudian menjadi pemimpinnya. Ketika itulah dia mengganti namanya dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit.

DN Aidit Mengenal PKI

Pada masa pendudukan Jepang, DN Aidit dan kawan-kawannya mendapatkan pelajaran politik dari beberapa orang besar, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, dan Ki Hajar Dewantara di Asrama Menteng. Awal September 1945, Angkatan Pemuda Indonesia (API) terbentuk dan Aidit ditunjuk sebagai ketua cabang Jakarta Raya.

Pada 5 November 1945, Aidit dan anggota API diserang oleh Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau tentara Hindia Belanda, kemudian ditangkap. DN Aidit diasingkan ke Pulau Onrust selama tujuh bulan.

Pada 1948, DN Aidit, Lukman, dan Njoto mendapatkan tugas menjadi penerjemah Manifesto Komunis ke bahasa Indonesia. Pada Agustus 1948 mereka bertiga diangkat menjadi anggota komite sentral. Masing-masing dari mereka bertanggung jawab terhadap urusan agitasi, pertanahan, dan propaganda. DN Aidit dan dua rekannya kemudian menjadi anggota Politbiro PKI baru yang dibentuk Musso pada 1 September 1948. Ketika itu, DN Aidit bertanggung jawab di bagian perburuhan partai.

Kudeta Tokoh Tua

Pada 1948 Pemberontakan PKI Madiun terjadi. Hal ini membuat DN Aidit harus berlindung ke Tanjung Priok. Setelah peristiwa tersebut, empat anggota Politbiro, yaitu DN Aidit, Njoto, Lukman, dan Sudisman, menggantikan posisi pemimpin lama pada Januari 1951.

Aidit pun terpilih sebagai sekretaris jenderal berdasarkan kongres kelima. DN Aidit kemudian berusaha mengudeta tokoh-tokoh tua yang ada di PKI, seperti Alimin dan Tan Ling Djie. Menurut Aidit, mereka melakukan banyak kesalahan.

Karier DN Aidit pun melabung pada akhir 1950-an, yaitu setelah tokoh-tokoh tua partainya disingkirkan. Dia mendapat dukungan dari beberapa aktivis muda dalam Kongres V PKI dan berhasil menjadi posisi Ketua Comite Central PKI (CC-PKI).