Jalan Panjang dan Terjal Mencari Makam DN Aidit di Boyolali: Bersembunyi di Tempat Terang
ERA.id - Setelah 30 September 1965, Dipa Nusantara (DN) Aidit terus menjadi pelarian karena dituduh sebagai dalang pembantaian tujuh jenderal TNI AD. Namun pelariannya tak lama, Ketua Central Committee (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) ini berhasil tertangkap kemudian dieksekusi.
Tepatnya, DN Aidit ditangkap pada 20 November 1965. Dua hari setelah tertangkap pada 22 November 1965 D.N Aidit dieksekusi salah satu kolonel di bawah pimpinan Komandan Brigade IV Infanteri Yasir Hadibroto.
Sempat menjadi teka-teki di mana tempat peristirahatan terakhir Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara itu berada. Ilham Aidit, putra keempat DN Aidit mengaku sudah menemukan pusara sang ayah di daerah Boyolali, Jawa Barat.
"Tidak, tidak menjadi misteri. Sekarang sudah saya tahu," ujar Ilham kepada ERA.id di kediamannya di Bandung.
Ilham mengatakan, sejak sekitar tahun 1996-1997 dia terus mencari keberadaan pusara terakhir DN Aidit berada. Selama enam hingga tujuh tahun mencari, barulah pada tahun 2004 Ilham menemukan pusara sang ayah di daerah Boyolali, Jawa Tengah.
Melacak Pusara DN Aidit
Tak mudah bagi Ilham Aidit menemukan pusara DN Aidit. Selama tujuh tahun pencarian, ada banyak orang yang memberinya informasi terkait keberadaan tempat peristirahatan terakhir ayahnya.
Namun, nalurinya mengatakan tak satu pun dari lokasi-lokasi yang diduga pusara DN Aidit adalah tempat terakhir ayahnya beristirahat. Hingga pada suatu ketika, seorang kawannya dari Syarikat Nahdlatul Ulama (NU) menghubungi untuk menanyakan tentang kemajuan pencarian pusara DN Aidit.
"Dia mengontak saya dan mengatakan bahwa, 'Mas Ilham, Mas Ilham sudah ketemu enggak itu makam (DN Aidit)'. 'Saya ditunjukin beberapa titik' saya bilang begitu, tapi saya ragu di titik itulah yang menjadi pusara ayah saya," kata Ilham mengulang percakapannya.
Orang yang tak disebutkan namanya itu lantas mengatakan ada yang bisa memberi petunjuk jelas di mana pusara DN Aidit berada. Tak lama setelah percakapan itu, Ilham berangkat ke Yogyakarta untuk bertemu.
Ilham diantar untuk bertemu dengan seorang kakek tua bernama Mbah Tamam yang pada saat aksi bersih-bersih PKI sangat aktif di Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) yang merupakan gerakan sayap dari organisasi NU.
Kepada Ilham, Tamam mengaku usianya masih 27 tahun saat peristiwa pembersihan (korban 1965 menyebut pembantaian) terjadi di dearahnya, Boyolali, Jawa Tengah. Saat itu, mbah Tamam pun aktif terlibat aksi pembersihan orang-orang yang dituduh PKI.
"Suatu hari Yasir Hadibroto itu mengumumkan tentang tewasnya Aidit di malam sebelumnya, pada pagi hari dia mengumumkan itu sekitar jam 8 pagi di sebuah lapangan di Boyolali. Bahkan dia mengangkat sebuah jam tangan, dia mengatakan, 'inilah bukti jam tangannya Aidit yang kami eksekusi di malam hari'," tutur Ilham.
Pengeksekusi tersebut bahkan disebut merasa menjadi 'pahlawan' karena berhasil membunuh gembong PKI. Belakangan dari mbah Tamam, Ilham mengetahui ayahnya dieksekusi di sebuah gedung sekolah SMP. Setelah itu, jenazah DN Aidit diangkut dan dibuang ke sebuah sumur di komplek Kodim di Boyolali, Jawa Tengah.
Adapun gedung sekolah tempat DN Aidit dieksekusi, kata Ilham, tak pernah lagi digunakan. Dulu, bangunan itu pernah digunakan menjadi pengadilan, tapi setelah itu kosong kembali. Seolah-olah masyarakat tahu pernah ada sebuah eksekusi yang liar, tanpa proses pengadilan orang pernah diekesekusi di situ.
Pusara itu Berkamuflase Sebagai Tempat Sampah
Di sebuah pekarangan sebuah kompleks Kodim di Boyolali, Jawa Tengah itu Ilham merasa semakin dekat dengan keberadaan ayahnya, DN Aidit.
"Saya ditunjukan oleh Mbah Tamam, 'kamu datang saja ke jalan ini, di situ ada komplek kodim dan rumah ke lima atau keenam itu adalah tempatnya'. Dimakamkannya, bukan dimakamkannya, dibuangnya Aidit ke dalam sumur," kata Ilham.
Namun di pekarangan itu Ilham tak melihat ada sumur tua. Hanya ada bak sampah berukuran sangat besar sekitar 1,5 meter x 1,5 meter saja. Meskipun tak ada bekas sumur di pekarangan itu. Namun, orang-orang sekitar mengetahui bahkan meyakini ada sebuah sumur tua yang menjadi pusara DN Aidit.
Ilham mendapat cerita, sumur tua itu sudah ditutup setelah jenazah DN Aidit dibuang ke dalamnya. Beberapa hari setelah dibuang, dua kali sumur itu diuruk dengan batu kemudian disemen dan di atasnya dibuat seperti tempat sampah untuk menyamarkan.
"Makanya dari awal saya sudah curiga, kenapa tempat sampah ini ukurannya besar sekali. Dan tidak ada satu daun kering pun yang ada di tempat sampah itu. Enggak ada orang buang sampah di situ," kenang Ilham.
Padahal, berjarak 20 meter dari tempat sampah besar itu ada tempat sampah lain yang dipenuhi sampah. Pemandangan ini menurut Ilham terasa janggal.
"Jadi saya katakan, dan orang di sini katakan juga, memang sengaja dibuat seperti tempat sampah untuk menyamarkan ini. Tapi semua orang tahu itu tempatnya Pak Aidit, dan enggak ada orang yang mau buang sampah di situ," ujarnya.
Ilham mengaku tak pernah lagi mengunjungi pusara ayahnya. Pertama kali dia menemukannya itulah terakhir kalinya dia berziarah.
Kini, dia tak tahu pasti apakah pusara DN Aidit masih disamarkan dengan tempat sampah atau tidak.
"Itu tahun 2004, jadi 16 tahun yang lalu, saya enggak tahu sekarang," katanya.
Ziarah Sunyi Ilham Aidit Kepada DN Aidit
Ilham Aidit, tak bisa bebas berziarah ke pusara ayahnya. Doa sunyi itu hanya bisa dikirimkan setiap 30 September, saat terakhir kali ia melihat ayahnya di rumahnya di Jalan Pegangsaan Barat 4, Jakarta Pusat pada tahun 1965.
Padahal, perlu waktu bertahun-tahun baginya sampai akhirnya menemukan letak pusara DN Aidit. Ilham berhasil menemukan pusara ayahnya pada tahun 2004 di sebuah komplek Kodim di daerah Boyolali, Jawa Tengah.
"Bahkan letak makam itu pun masih saya rahasiakan. Hanya kawan-kawan saya saja, ada tiga atau empat kawan saya yang menjadi saksi saya menemukan makam itu," ungkap Ilham.
Kepada kawan lainnya, Ilham hanya menyampaikan gambaran besar letak pusara DN Aidit. Namun ia meminta agar tak ada yang berziarah ke sana.
Peringatan itu ia tekankan kepada kawan-kawannya, maupun kawan-kawan ayahnya karena banyak yang ingin berziarah. Sebab itu hanya akan menyulut polemik dan membangkitkan kembali "hantu komunisme".
"Mereka dengan antusias, kita lakukan ziarah, saya bilang jangan karena itu akan menimbulkan (polemik) ini lagi. Dan mereka juga paham, ya sudahlah kita mendoakan saja setiap 30 September," kata Ilham.
Ilham mengatakan, ayahnya dieksekusi pada tanggal 22 November 1965. Tepat satu bulan 22 hari setelah peristiwa pembantaian tujuh jenderal TNI Angkatan Darat pada 30 September 1965.
Taufiq Kiemas Pernah Ingin Pindahkan Pusara DN Aidit
Sebagai seorang anak, Ilham tentu ingin orang tuanya dimakamkan di tempat yang lebih layak dan mudah dikunjungi keluarga. Keinginannya itu pun sempat disampaikan kepada Ketua MPR RI yang saat itu dijabat Taufiq Kiemas.
Almarhum suami Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri itu, kata Ilham pernah hampir mengabulkannya. Di hadapan Ilham, Taufiq Kiemas mempersilakan keluarga memindahkan jenazah DN Aidit ke tempat yang lebih layak.
"Pernah saya bicara dengan Pak Taufiq Kiemas, 'ya sudah diangkut aja, dimakam saja di tempat yang lebih layak'," kata Ilham menirukan ucapan Taufik Kiemas.
Namun lampu hijau itu kembali menjadi merah. Taufiq Kiemas berubah pikiran, meminta Ilham mengurungkan niatnya untuk memindahkan makam DN Aidit ke tempat yang lebih layak.
Saat itu, Ilham mengatakan, Taufiq Kiemas menilai situasi masih belum kondusif, apalagi era reformasi masih baru-barunya. Sehingga memindahkan makam DN Aidit dianggap ide yang buruk.
"Almarhum (Taufiq Kiemas) mengatakan 'wah jangan dulu deh, biarkan saja, karena itu akan menimbulkan polemik nanti menimbulkan dinamika negatif lagi kalau jenazah Aidit atau tulang belulang Aidit kemudian dari situ kemudian dimakamkan kembali di tempat pemakaman umum. Sudahlah kamu bersabar saja', itu kata-kata Pak Taufiq Kiemas," katanya.
Sejak itu, ia harus meredam keinginannya untuk memindahkan jenazah sang ayah dari Boyolali, Jawa Tengah. Ilham menyadari negara ini belum ramah merima keberadaan DN Aidit meskipun sudah 55 tahun berlalu.
"Kemudian saya juga menghentikan kenginan saya untuk memindahkan makam itu karena masih belum memungkinkan," pungkasnya.