Asfiksia Neonatorum pada Bayi Baru Lahir, Apa Gejala dan Penyebabnya?
ERA.id - Waspadai ketika menjumpai bayi baru lahir namun tidak menangis, warna kulit kebiruan, dan sulit bernapas. Bisa jadi bayi tersebut mengalami asfiksia neonatorum yang harus ditangani dengan cepat.
Perlu diketahui, asfiksia neonatorum terjadi saat bayi kekurangan oksigen sebelum, selama, dan setelah proses persalinan. Kekurangan oksigen dapat membuat jaringan dan organ tubuh bayi akan mengalami kerusakan.
Kementerian Kesehatan menyebut jika asfiksia merupakan penyebab kematian tertinggi
ketiga setelah infeksi neonatal dan prematuritas atau bayi berat lahir rendah. Asfiksia sendiri berkaitan dengan morbiditas jangka panjang berupa palsi serebral, retardasi mental, dan gangguan belajar pada bayi.
Definisi dan Gejala Asfiksia Neonatorum
Dilansir dari Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/214/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Asfiksia, terdapat definisi asfiksia neonatorum dari beberapa sumber :
- WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
- National Neonatology Forum of India
Asfiksia merupakan keadaan yang ditandai dengan megap megap dan pernapasan tidak efektif atau kurangnya usaha napas pada menit pertama setelah kelahiran.
- American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) dan American Academy of Paediatrics (AAP)
Asfiksia merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas darah yang menyebabkan hipoksemia progresif dan hiperkapnia dengan asidosis metabolik signifikan.
- Standar pelayanan medis ilmu kesehatan anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2004)
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bayi bernapas spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis.
Penyebab Asfiksia Neonatorum pada Bayi
Di negara berkembang seperti Indonesia pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum sering ditemukan. Kendala tersebut meliputi definisi asfiksia yang belum seragam sehingga menimbulkan kerancuan dalam penegakan diagnosis dan tata laksana.
Selain itu, petugas kesehatan yang kurang terampil dalam melakukan resusitasi neonatus, serta peralatan resusitasi yang kurang memadai di sebagian besar sarana pelayanan kesehatan juga menjadi penyebab.
Secara patofisiologi, asfiksia neonatorum dimulai saat bayi kekurangan oksigen akibat gangguan aliran oksigen dari plasenta ke janin saat kehamilan, persalinan, ataupun segera setelah lahir karena kegagalan adaptasi di masa transisi.
Ketika keadaan hipoksia akut, darah cenderung mengalir ke organ vital seperti batang otak dan jantung, dibandingkan ke serebrum, pleksus koroid, substansia alba, kelenjar adrenal, kulit, jaringan muskuloskeletal, organ-organ rongga toraks dan abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal.
Perubahan dan redistribusi aliran darah tersebut disebabkan oleh penurunan resistensi vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta peningkatan resistensi vaskular perifer.
Menurut penelitian di Port Moresby, menemukan kondisi maternal asfiksia neonatorum di antaranya pada usia ibu yang terlalu muda ( dibawah 20 tahun) atau terlalu tua ( diatas 40 tahun), anemia (Hb <8 g/dL), perdarahan antepartum, demam selama kehamilan, persalinan kurang bulan, dan persalinan lebih bulan.
Selain itu, ditemukan korelasi yang signifikan pada tanda-tanda gawat janin seperti denyut jantung janin abnormal dan/ atau air ketuban bercampur mekonium.
Selain asfiksia neonatorum, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Kalo kamu ingin tahu informasi menarik lainnya, jangan ketinggalan pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya! Bikin Paham, Bikin Nyaman…