Apa Itu Mati Suri? Berikut Cara Pandang Islam terhadap Fenomena Kehidupan Kedua
ERA.id - Mati suri adalah hal yang akrab di telinga kita. Menurut KBBI, mati suri memiliki makna ‘tampaknya mati, tetapi sebenarnya tidak’. Sebenarnya apa itu mati suri? Lalu, seperti apa pandangan Islam terkait fenomena ini?
Sebuah ayat di Al-Qur’an memiliki penjelasan yang mirip dengan fenomena mati suri. Ayat tersebut terdapat dalam surah Al-Baqarah. Allah Swt. berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَشْكُرُونَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamanya, jumlah mereka beribu-ribu sebab takut kematian. Kemudian Allah berkata kepada mereka ‘matilah kalian’, kemudian menghidupkanya. Sesungguhnya Allah itu Zat yang memiliki karunia terhadap manusia, tetapi sungguh kebanyakan manusia tidak bersyukur“ (Al-Baqarah: 243).
Apakah hal tersebut menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya mati suri? Untuk mengetahui lebih jauh, simak penjelasan berikut, dikutip Era dari Bincang Syariah.
Mengenal Apa Itu Mati Suri dalam Pandangan Islam
Berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 243, al-Suyuthi menyampaikan sebuah kisah dalam karyanya yang berjudul al-Dur al-Manstur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur (juz 3, vol.117).
Di kalangan bani Israel, terdapat sebuah daerah bernama Dawardan. Pada suatu saat di daerah tersebut terjadi wabah penyakit (tha’un), sebagian penduduknya keluar daerah untuk mencari keselamatan dan sebagian yang lain tetap di tempat tersebut berpasrah kepada Tuhan.
Orang-orang yang ada tetap ada di daerah tersebut banyak yang meninggal akibat tha’un—sedikit yang selamat. Setelah wabah berakhir, orang-orang yang sebelumnya keluar daerah kembali lagi ke daerah tersebut dan disambut oleh sisa orang-orang Darwan.
Selang beberapa waktu, wabah kembali terjadi dan kali ini semua penduduk keluar darah tanpa terkecuali untuk mencari keselamatan. Sampailah mereka di sebuah lembah di antara dua gunung besar.
Tuhan memerintahkan dua malaiakat yang ada di atas dan di bawah lembah, dan berkata, “Bunuh mereka!” Kedua malaikat kemudian mencabut nyawa orang-orang tersebut tanpa terkecuali. Seiring berjalanya waktu, jasad orang-orang tersebut dimakan tanah hingga menyisakan tulang belulang yang berserakan.
Suatu ketika seorang nabi bernama Hizqil berjalan melewati lembah tersebut kemudian terkejut dan heran saat melihat tulang belulang yang berserakan. Kemudian Tuhan memberinya wahyu.
Hizqil berkata, “Hai tulang-tulang, Tuhan memerintahkan kalian untuk kembali menyatu.” Semua tulang belulang itu pun menyatu menjadi jasad seperti sediakala tanpa daging dan darah.
Hizqil kembali menyeru, “Pakailah daging untuk menutupimu dan bangkitlah.” Tulang belulang itu kemudian berbalut daging dan bangkit dengan arwahnya masing-masing. Setelah itu, orang-orang tersebut kembali ke daerahnya semula.
Itulah kisah mati suri yang memiliki arti kehidupan kedua setelah kematian pada masa Nabi Hizqil. Terkait kematian, para ulama mencetuskan hukum, seseorang yang sudah dinyatakan meninggal berdasarkan agama dan medis, semua hukum syariah terputus, termasuk status pernikahan dan harta yang ditinggalkanya sebagai warisan.
Terkait dengan kebangkitanya kembali (hidup kedua), semua yang dimiliki sebelumnya tidak kembali kepadanya, termasuk harta dan pasangan hidup. Ibnu Hajar al-Haitami dalam karyanya yang berjudul Fatawa al-Haditsiyah (vol 8) memberikan penjelasan.
مطلب: لا أثر للحياة بعد تيقن الموت – إلى أن قال – وإذا تقرر أنه لا أثر لحياته فتُنكح زوجاته وتَقْسم ورثتُهُ ماله، وإن ثبت فيه الحياة، لأن الموت سبب وضَعَه الشارعُ لحلِّ الأموال، والزوجات، فحيث وجد ذلك السبب وُجِد المسبب، وأما الحياة بعده فلم يجعلها الشارع سبباً لعود ذلك الحِّل
“(Tidak ada bekas hukum bagi kehidupan kedua setelah nyata meninggal dunia) dan ketika telah ditetapkan bahwa sesungguhnya tidak ada bekas hukum bagi kehidupanya kedua, maka legal untuk menikahi istrinya (baginya atau orang lain) dan ahli waris membagi harta peninggalanya. Karena kematian merupakan sebab syariat menghalalkan harta dan istrinya, ketika muncul sebab maka ditemukan sesuatu yang disebabkan (musabbab). Kehidupan kedua tidak dijadikan sebagai sebab kembalinya hukum halal baginya oleh syariat.”
Al-Ramli dalam karyanya Nihayah al-Muhtaj (juz.3, vol.354) berkata:
وقع السؤال في الدرس عما لو ماتت الزوجة موتا حقيقيا والزوج حي ثم حييت هل تتزوج بغيره حالا لأنها بالموت سقطت عنها سائر الأحكام وهذه حياة جديدة أم لا- إلى أن قال – فيه نظر والأقرب الأول للعلة المذكورة ،ولا فرق في ذلك بين عودها لزوجها الأول وبين تزوجها بغيره
“Pertanyaan: andaikan seorang wanita benar-benar meninggal dunia dan suami masih hidup, kemudian istri kembali hidup, apakah dia diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain karena sebab kematian hilang semua hukum sebelumnya, dan kehidupan ini adalah kehidupan baru, ataukah tidak boleh? Dalam permasalahan ini yang lebih mendekati adalah awal (diperbolehkan) karena alasan tersebut, baik perempuan tersebut kembali menikah dengan suami pertama atau dengan laki-laki lain.”
Berdasarkan penjelasan para ahli tersebut, terdapat indikasi bahwa fenomena mati suri diakui dalam Islam. Namun tetap, kebenaran hanya milik Allah Swt.