Kapan Seseorang Dianggap Musafir? Simak Penjelasan Berikut

ERA.id -Musafir adalah pengelana atau orang yang bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih). Itu adalah makna secara umum. Namun, bagi umat Islam, makna musafir harus dipahami lebih jelas sebab bisa berkaitan dengan ibadah, misalnya melakukan salat secara jamak dan tidak menjalankan puasa.

Salah satu pertanyaan yang sering muncul terkait hal tersebut adalah kapan seseorang dianggap musafir? Untuk mendapatkan jawaban yang jelas, simak uraian berikut ini.

Kapan Seseorang Dianggap Musafir?

Dikutip Era.id dari Tebuireng Online, kata “musafir” berasal dari bahasa Arab saafara-yusaafiru-saafaran-musafiran yang artinya ‘berpergian’. “Musafir” merupakan bentuk isim fail dari saafara yang arinya adalah ‘orang yang bepergian atau melakukan perjalanan’.

Ilustrasi orang salat di masjid (pixabay)

Berdasarkan hukum Islam, musafir merupakan orang yang berpergian dengan jarak tertentu. Seperti telah disampaikan di awal, musafir mendapatkan keringanan dalam melaksanakan ibadah, misalnya menjamak salat wajib tertentu dan boleh tidak puasa pada bulan Ramadan.

Dalam mazhab Syafi’i, musafir adalah orang berpergian dengan menempuh jarak perjalanan kurang lebih 90 km. Selain itu, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ibanatul Ahkam syarh Bulughul Marom, sebagian besar ulama berpendapat, perjalanan orang tersebut tidak untuk (tidak berencana) menetap selama empat hari atau lebih di daerah tertentu.

“Para ulama berbeda pendapat dalam masa iqamah (menetap) yang dapat memutuskan hukum safar. Menurut sebagian besar ulama yaitu berniat menetap empat hari, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah yang dapat memutuskan hukum safar dengan berniat menetap selama lima belas hari.” (Alwi ‘Abbas Al-Maliky dan Hasan Sulaiman An-Nury)

Menurut penjelasan Imam As-Syirozi dalam Al-Muhadzab, jika seorang musafir berencana menetap selama empat hari, orang tersebut dianggap mukim (orang yang menetap), bukan lagi musafir. Dengan demikian, orang tersebut tidak mendapatkan keringanan dalam melakukan ibadah.

Contohnya dari hal tersebut adalah orang pergi dari Semarang pergi ke Banyuwangi dan berniat menginap di rumah saudaranya selama lima hari. Orang tersebut tidak mendapatkan keringanan dalam beribadah sehingga tidak diperbolehkan meninggalkan salat Jumat (bagi laki-laki), menjamak, dan meng-qashar salat.

Hal tersebut juga berlaku bagi orang yang berniat mukim tanpa tahu batas waktunya secara pasti. Contohnya adalah orang merantau dari Pekalongan ke Merauke dengan niat mencari pekerjaan dan dia tidak tahu kapan mendapatkan pekerjaan. Dalam pandangan fikih, orang tersebut dianggap sebagai mukim di Merauke sehingga tidak boleh meninggalkan salat Jumat (bagi laki-laki), menjamak, dan meng-qashar salat.

“Apabila seorang musafir berniat menetap empat hari selain hari masuk (perjalanan) dan hari keluar (pulang), maka seorang musafir tersebut dianggap muqim dan terputus keringan-keringanan safarnya.” (Al-Muhaddzab fi Fiqhil Imam As-Syafi’i karya Imam As-Syirozi jilid 1 hal 195)

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa musafir boleh tidak salat Jumat, tetapi wajib menggantinya dengan salat Zuhur. Mengetahui kapan seseorang dianggap musafir juga bisa menjadi acuan terkait pelaksanaan ibadah yang lain, misalnya puasa pada bulan Ramadan.