Hak Asuh Anak dalam Perceraian Menurut Hukum Agama dan Negara
ERA.id - Perceraian merupakan situasi yang sulit dan kompleks bagi pasangan suami istri. Namun, salah satu aspek yang paling penting yang harus dipertimbangkan dalam proses perceraian adalah hak asuh anak. Bagaimana hak asuh anak dalam perceraian?
Anak-anak merupakan individu yang paling rentan dalam situasi ini, dan keputusan yang diambil terkait hak asuh mereka harus didasarkan pada kepentingan dan kesejahteraan mereka.
Memahami Hak Asuh Anak dalam Perceraian
Hakim Pengadilan Agama Semarang, Drs.H.Asmu’i,M.H., dalam artikel yang dimuat di laman Pengadilan Agama Semarang menjelaskan beberapa poin penting mengenai hak asuh anak sebagai berikut.
Dalam kasus perceraian, salah satu pertanyaan penting yang harus dijawab adalah siapa yang seharusnya mengasuh anak. Dalam situasi ini, apabila pasangan suami istri tidak dapat mencapai kesepakatan, perceraian menurut undang-undang mengharuskan pengadilan untuk ikut campur.
Bagi penganut agama Islam, hal ini dilakukan melalui pengadilan agama, sementara bagi non-Muslim melalui pengadilan umum (Pasal 63 UU Nomor 1/1974).
Pengadilan Agama, kewenangan mereka terkait dengan anak dalam perceraian telah diatur dengan jelas dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah mengalami perubahan dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009. Namun, pertanyaan berikutnya adalah kepada siapa anak harus diserahkan?
Para ahli hukum telah lama membahas masalah ini. Kitab-kitab fikih, baik klasik maupun kontemporer, telah menguraikan perdebatan yang panjang mengenai hak asuh anak, yang disebut juga sebagai al-hadlonah (pengasuhan dan pemeliharaan).
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai fikih Indonesia juga memberikan ketentuan terkait hal ini. Pasal 156 KHI menegaskan bahwa anak yang belum mencapai mumayiz (usia di mana anak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk) berhak mendapatkan hadlonah dari ibunya.
Jika ibu tidak ada, hak tersebut diberikan kepada wanita garis lurus ke atas dari ibu. Jika tidak ada juga yang memenuhi syarat, hak tersebut baru diberikan kepada ayah (mantan suami).
Jika ayah tidak ada atau tidak mampu, hak asuh diberikan kepada wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah. Jika kelompok ini juga tidak ada, diberikan kepada saudara perempuan anak yang bersangkutan.
Jika masih tidak ada, hak asuh diberikan kepada kerabat sedarah perempuan menurut garis samping dari ibu. Jika kelompok ini pun tidak ada, hak asuh diberikan kepada kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. Ketentuan yang ditegaskan oleh KHI sebenarnya mencerminkan berbagai pandangan para ahli fikih.
Pertanyaannya, mengapa dalam konteks pengasuhan anak, wanita lebih diprioritaskan? Hal ini terkait dengan peristiwa dalam sejarah yang tercatat. Salah satu contohnya adalah kasus yang melibatkan Umar bin al-Khattab, yang menceraikan istrinya, Ummu Asim. Setelah perceraian, Umar bin al-Khattab ingin mengambil anak mereka, Asim, dari asuhan ibunya.
Alasan mengapa dalam tradisi wanita lebih diprioritaskan terkait dengan faktor psikologis seperti kasih sayang dan kelembutan. Hal ini bertujuan untuk memastikan kesejahteraan anak. Pemikiran ini juga telah diakomodasi oleh hukum kontemporer, yang menekankan bahwa pengasuhan anak harus semata-mata untuk kepentingan anak.
Atas beberapa kasus di atas, kemudian menjadi inspirasi bagi para aktivis sosial dan legislator untuk menerbitkan berbagai undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Salah satu UU yang mengatur adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Selain hak asuh anak dalam perceraian, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Ingin tahu informasi menarik lainnya? Jangan ketinggalan, pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya! Bikin Paham, Bikin Nyaman…