Laode M Syarif Bicara Soal "Reformasi Hukum di Luar Nalar" Ala Jokowi hingga Titik Terendah Sejarah KPK
ERA.id - Laode Muhammad Syarif sedang membaca buku saat redaksi Era.id berkunjung ke kantornya, Jumat (30/8/2024). Eks komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu memutar lagu “Feeling Good” oleh Nina Simone. Mungkin itu juga yang ia rasakan setelah pensiun dari KPK pada 2019 silam. Ia mengaku merasa lebih baik dan lebih leluasa bergerak tanpa sorotan kamera wartawan.
Dahulu, kenangnya, menjadi pegawai KPK berarti menanggalkan sebagian kebebasan demi menjaga integritas dan profesionalitas kerja.
“Saya juga pernah mengalami itu. Kalau misalnya pergi ke hotel atas nama saya, tapi misalnya ada keluarga saya ikut, anak atau istri gitu, dia nggak bisa nginap di kamar itu,” cerita Laode. “Pernah suatu waktu ada keluarga, jadi kita harus buka kamar baru, mengambilkan kamar lain untuk mereka tinggal itu dengan uang pribadi.”
Selain aturan ketat soal penggunaan fasilitas negara, pegawai KPK di periodenya wajib menghindari interaksi yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan (conflict of interest). Mereka tak boleh menerima undangan makan pejabat atau pengusaha; tak boleh meminta dijemput di bandara saat diundang ke suatu acara; hingga dilarang jalan-jalan bersama panitia seusai ucara, walau sekadar beli oleh-oleh.
“Jadi memang agak lelah itu jadi pejabat di KPK,” ungkap Laode. Namun, itu harga yang pantas untuk mendapatkan kebebasan lain berupa independensi KPK. Artinya, tak ada pihak yang bisa menyetir lembaga anti rasuah itu untuk kepentingan pribadi.
Laode menjabat sebagai Wakil Ketua KPK periode 2015-2019. Ketuanya waktu itu Agus Raharjo. Setahun selepas masa tugasnya di KPK, Laode kembali ke kantor lamanya, Kemitraan. Sebelumnya, ia bekerja sebagai peneliti di sana sejak 2008. Ketika kembali pada 2020, ia ditunjuk sebagai Direktur Eksekutif Kemitraan.
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kemarin, Laode bersama sejumlah mantan pimpinan KPK menyatakan kekecewaan mereka atas tindakan pejabat negara yang dinilai melupakan standar moral dan etika.
“Karena makin hari mendekat, makin tampak juga penyelewengan, dan penyalahgunaan itu, oleh karena itu sebagai orang tua, yang tua-tua ya, aku muda saja, merasa masa kita diam saja untuk melihat kondisi yang seperti ini,” ujar Laode di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Senin (5/2/2024).
Kini, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, ia masih juga tak melihat ada iktikad baik dari pemerintah untuk memperbaiki sikapnya. Mulai dari manuver DPR RI untuk menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan dan batas usia minimum kepala daerah, hingga dugaan gratifikasi keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berikut wawancara khusus lengkap Era.id bersama dengan Laode Muhammad Syarif.
Selesai masa bakti di KPK, 2020 Pak Laode jadi Direktur Eksekutif Kemitraan. Ini lembaga apa Pak?
Kemitraan itu namanya sebenarnya bahasa Inggris, The Partnership for Governance Reform. Dulu dibentuk sejak turunnya Soeharto. Dulu tuh kami merupakan bagian dari United Nations Development Program (UNDP).
Pak Laode aktif di Kemitraan sejak awal-awal berdiri?
Tidak awal sekali, tapi saya masuk di Kemitraan itu tahun 2008. Pada waktu itu ketika awal-awalnya membuat kode etik di Mahkamah Agung. Sebelumnya saya sebagai peneliti di Kemitraan.
Orang-orang Kemitraan itu banyak, yang jadi komisioner KPK itu ada tiga bahkan. Salah satu pendirinya Pak Erry Riyana Hardjapamekas, yang kedua Pak Bambang Widjojanto.
Pak Laode pernah masuk dalam Tim Reformasi Hukum yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) waktu itu, Mahfud MD. Apa poin-poin penting reformasi hukum yang direkomendasikan ke pemerintah?
Ya, saya wakil ketua. Itu salah satu pekerjaan Kemitraan sebenarnya. Kemitraan bekerja sama dengan Kemenko Polhukam untuk menilai, karena kita melihat Kementerian yang lain itu susah didorong untuk reform. Dan kebetulan Pak Mahfud bersedia sehingga kami membentuk beberapa kelompok.
Satunya adalah tentang perbaikan tata kelola proses pembuatan undang-undang. Di situ ada nama Bivitri Susanti, Feri Amsari, Mbak Susi (Prof. Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran).
Terus kelompok yang berikutnya ada satu tentang anti korupsi. Saya tidak masuk kelompok karena saya wakil ketua ya. Jadi di anti korupsi ini ada Pak Yunus Husein, Pak Dadang Trisasongko, Meuthia Ganie Rochman, dan lain-lain.
Ada lagi yang satu itu berhubungan dengan natural resources, sumber daya alam. Satu lagi kelompok tentang penegakan hukum. Penegakan hukum itu mulai dari polisi, jaksa, dan pengadilan.
Jadi menurut kami rekomendasinya itu memang lumayan bagus dan progresif ya. Dan itu sudah disusun, kalian bisa baca, bahkan kami sengaja bikin online karena waktu itu kan mulai diributin juga, wah orang-orang ini sudah terkooptasi dengan pemerintah.
Saya bilang tunggu, lihat rekomendasinya. Hasilnya saya pikir cukup bagus. Dan Pak Mahfud itu dia kan pemerintah ya waktu itu, tapi tidak mencampuri bagaimana isi rekomendasi. Karena memang dia mengharapkan sumbangan objektif terhadap proses reformasi hukum yang besar di Indonesia.
Dan itu sudah diserahkan kepada Presiden di Istana Bogor, saya tidak hadir pada waktu penyerahan karena waktu itu saya masih ada kunjungan ke luar negeri. Setelah itu Presiden mengatakan bahwa ini akan dipelajari dulu. Dan mudah-mudahan dipelajarinya tidak terlalu lama.
Apa saja rekomendasinya?
Contoh rekomendasinya yang nyata ya, nomor satu, untuk sektor anti korupsi itu harus disegerakan, Undang-Undang (UU) Perampasan Aset itu. Ini udah mau selesai periode ini belum juga ya terjadi.
Yang nomor 2, kita juga mengusulkan bahwa UU KPK itu harus direvisi untuk mengembalikan independensinya agar lebih kuat, seperti itu. Terus ada beberapa pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kita itu yang belum lengkap. Misalnya bagaimana tentang memperkaya diri sendiri dengan tidak sah, yaitu illicit enrichment, itu belum masuk itu dalam UU Tipikor kita.
Kemudian ada harta yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya, unexplained wealth, itu juga belum ada. Yang nomor 3, menyuap pejabat publik asing itu juga belum dianggap pidana. Yang keempat, ini yang paling penting ini, suap di dalam private sector, jadi suap-menyuap dalam dunia usaha, dalam sektor swasta, itu belum ada.
Yang terakhir itu ada namanya trading in influence, yaitu memperdagangkan pengaruh. Jadi itu belum ada, itu salah satu usulan ya.
Dari sektor sumber daya alam kita mengusulkan, misalnya semua tambang yang ada di pulau-pulau kecil yang dilarang oleh UU harus dicabut. Yang kedua, tambang-tambang yang khususnya untuk proyek strategis nasional yang tidak memperhatikan tata kelola, tidak memperhatikan perlindungan lingkungan, itu harus ditata. Termasuk pelaporan penghasilan yang lebih.
Pokoknya banyak. Jadi sebenarnya kalau itu dijalankan lumayan substansial itu. Presiden bisa meninggalkan legacy yang lebih baik. Sayangnya belum ada satu pun yang dijalankan.
Yang berikut lagi, yang paling penting, yaitu proses pembuatan UU. Kemarin itu (revisi UU Pilkada) hampir diketok itu tanpa konsultasi publik. Jadi (dalam rekomendasi) dijelaskan itu harus diganti Peraturan Presidennya. Jadi di situ diusulkan bagaimana konsultasi publik yang benar, agar jangan nipu-nipu ketika membuat UU. Berikan waktu yang pas.
Artinya sejak berkas itu diserahterimakan ke Presiden, terus Pak Presiden bilang ini akan kami pelajari, sampai sekarang masih dipelajari?
Ya masih dipelajari, masih belajar, belum ada tindak lanjutnya, dan saya agak pesimis untuk tindak lanjutnya. Oleh karena itu, kita berharap presiden berikut itu dia menindaklanjuti, karena itu kan dokumen negara jadinya, bukan lagi dokumen Kemitraan.
Soal beberapa poin yang belum masuk dalam UU Tipikor tadi, suap-menyuap sektor swasta dan trading in influence itu, katakanlah saya anak presiden, kemudian saya bukan pejabat publik, tapi saya punya pengaruh karena bapak saya presiden, terus saya punya kenalan pengusaha, pengusaha itu kemudian memfasilitasi kebutuhan saya, itu bisa masuk ranah korupsi sebetulnya?
Itu bisa masuk. Jadi sebenarnya dulu itu pernah juga terjadi kasus, waktu itu yang ada operasi tangkap tangan (OTT) ketua DPD di zaman saya, kebetulan sebenarnya itu memang ada suapnya karena waktu itu dia hanya menerima uang 100 atau 200 juta gitu. Orang dulu ribut, “Wah ini KPK main korupsi recehan aja.”
Mereka nggak tahu itu dia penerimaan rutin, kadang dua kali sebulan. Apa yang dia lakukan? Dia hanya bicara dengan Bulog, dia memperdagangkan pengaruhnya dia sebagai ketua DPD, dia bilang dengan Bulog bahwa yang bisa mendistribusikan gula di seluruh Sumatera Barat itu hanya satu-dua perusahaan. Di situlah dia dapat.
Jadi itu trading in influence, tapi waktu itu trading in influence kan belum ada pasalnya, makanya ketika dia dapat uang gitu kita tangkap, dan lebih sulit kan kalau harus pakai OTT seperti itu. Makanya kejadian akhir-akhir ini tuh agak pusing.
Yang kedua, di antara swasta ini, swasta ini kan bilang, “Oke saya fasilitasi kamu pergi ke sana ya, tapi nanti kamu menggunakan pengaruhmu untuk perubahan kebijakan.” Apalagi kalau itu berhubungan dengan, misalnya, saya ini dekat dengan pejabat tertentu, atau saya anak dari seorang pejabat tertentu, wah itu kan lebih gampang. Sayangnya, itu undang-undangnya masih belum ada.
Tapi seandainya kasus seperti ini terjadi, dan kebetulan belakangan ini sedang ramai dibahas isu gratifikasi Kaesang Pangarep sang anak presiden karena jet pribadi yang digunakannya diduga difasilitasi oleh pengusaha, apakah itu masih bisa ditindaklanjuti? Misalnya ditelusuri kemungkinan adanya tindak pidana itu?
Iya, kan kalau KPK itu syaratnya harus penyelenggara negara. Iya kewenangan KPK. Kalau bukan penyelenggara negara dia agak sulit. Tapi misalnya ketika bisa dibuktikan bahwa semacam gratifikasi atau pemberian kepada dia memang mempengaruhi keputusan tertentu, itu kan bisa dilihat, tetapi itu kan harus betul-betul dikuliti satu-satu.
Karena memang undang-undang kita ada keterbatasan seperti itu, akhirnya ini kalau kita tidak mengikutkan penyelenggara negaranya, maka ini kan seperti dia jatuh di pelanggaran etik, norma, dan sebenarnya memang tidak pantas itu. Sebagai anak seorang pejabat publik, kita harus menjaga diri, tidak boleh menunjukkan flexing seperti itu.
Sebenarnya sudah pernah terjadi kan, anak dari pejabat Bea Cukai itu flexing, akhirnya diperiksa bapaknya, ya kena juga. Jadi kalau misalnya KPK, atau polisi, atau kejaksaan itu harus membuktikan, yang dikenakan bukan kepada anaknya yang flexing, tetapi kepada orang tuanya. Kalau mau serius di sana.
Kalau di KPK itu kan ada namanya bukti permulaan yang cukup. Jadi maksudnya itu kalau dari segi hukum ada banyak keterbatasan, tetapi masih ada jalan lain kalau misalnya ada bukti permulaan yang cukup bahwa ini sebenarnya berhubungan dengan penyelenggara negara atau untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Soal rekomendasi tata kelola penyusunan UU, ini terbukti kita hampir kecolongan revisi UU Pilkada yang berusaha menganulir putusan MK kemarin ya Pak?
Ya, saya yakin kalau tidak ada gerakan mahasiswa, bukan cuma di Jakarta, tapi di Makassar, di Jogja, di Medan, di seluruh Indonesia, itu akan lolos ya. Karena itu, salah satu sumbangan tim reformasi hukum sebenarnya menjelaskan kembali apa sih konsultasi publik, apa itu naskah akademis. Ya harus ada syarat-syarat yang dilakukan.
Kalau sekarang ini kan banyak badan legislasi itu pergi ke universitas, mereka mengadakan FGD (forum group discussion), itu sudah dianggap sebagai konsultasi publik. Padahal ketika FGD itu banyak dosen yang nggak setuju dengan beberapa pasal. “Oh tapi kami sudah melakukan konsultasi publik, kami sudah pergi ke UGM, dll, kami sudah pergi ke sana.”
Kalau misalnya ada dari pemerintah atau dari DPR minta datang mau bicara, pasti oleh dekan universitas diberikan, oh ini bagus supaya kita berikan masukan. Ternyata masukan itu tidak diterima, tetapi dianggap sudah melakukan konsultasi. Jadi itu namanya kan bukan meaningful participation, tetapi itu hanya sebagai formality participation.
Mereka mengatakan itu sudah berkonsultasi, padahal sebenarnya hanya menjelaskan, dan usulan masyarakat, usulan dosen-dosen, itu tidak dianggap. Jadi enggak substansi, yang ada itu hanya formalitas.
Jadi kalau misalnya kita lihat kemarin itu, kita kan sudah kecolongan dengan syarat umur wakil presiden, itu kan sudah kecolongan juga, seperti itu. Bahkan partai politik itu memanfaatkan pengadilan Mahkamah Konstitusi, akhirnya terpengaruh, akhirnya membuat semacam rasio yang di luar nalar. Tapi ya itu terjadi.
Sekarang mau dicoba lagi untuk UU Pilkada ini. Makanya civil society, masyarakat umumnya, dan mahasiswa khususnya, harus peka. Saya yakin kalau ada demo yang besar di depan MK pas waktu batas usia wakil presiden itu dilakukan sama besarnya dengan seperti yang kemarin itu, saya yakin akan mikir tiga kali juga itu MK-nya untuk bisa meloloskan ini. Sayangnya itu telat sadar.
Pak Laode yang pernah bertahun-tahun berkecimpung di KPK, bagaimana melihat KPK sekarang?
Ya saya nggak enak menilai KPK, karena walaupun bagaimana, itu adalah kantor lama saya, dan sebagian orang-orang itu adalah teman-teman juga. Tetapi kalian melihat saja ya, dulu KPK itu selalu hampir juara satu terus dari perspektif publik, dianggap sebagai the most trusted public institution. Dan itu bukan cuma dikatakan oleh orang-orang KPK, tapi itu juga dikemukakan oleh lembaga-lembaga dari luar negeri.
Jadi selalu top atas itu, peringkat pertama kedua itu KPK, TNI, gitu kan. Kalau di bawah bawah ini biasanya paling DPR, polisi, di bawah-bawah banget tuh. Lu bayangin saja tuh KPK turun kastanya, disalip sama kepolisian. Seperti itu. Itu maksudnya bicara data saja. Jadi memang ada penurunan.
Nomor dua, tidak pernah dalam sejarah KPK, dua komisioner itu bermasalah dari segi uang kan. Satu pemerasan, satu lagi menerima gratifikasi, itu menurut saya how low can you go? Itu kan ada penyidik terima duit; ada pegawai KPK mengambil barang bukti emas, emasnya banyak lagi kan waktu itu; jadi dari semua parameter tadi itu, memang KPK dulu dan KPK sekarang berbeda. Ya itu saja yang saya bisa katakan nih.
Dan ada semacam asumsi di masyarakat, setelah revisi UU KPK yang kontroversial waktu itu, KPK yang kehilangan independensinya ini rawan digunakan oleh penguasa untuk dijadikan alat, untuk menyandera golongan tertentu dan memuluskan yang lain. Jadi buka-tutup kasus. Menurut Pak Laode itu sangat mungkin terjadi?
Ya saya tidak mengalami setelah revisi ini kan. Setelah revisi itu memang di zaman saya, tapi kan tinggal satu-dua bulan ya. Tetapi bagaimana sekarang, itu memang ya mungkin bisa saja, karena salah satunya dia dianggap sebagai bagian dari eksekutif. Kalau eksekutif ingin pimpinan tentunya eksekutif… ya saya kurang tahu apa yang terjadi. Seharusnya dia tetap lembaga independen menurut saya.
Dan itu masuk rekomendasi tim reformasi hukum ya untuk revisi kembali UU KPK?
Ya, mengusulkan kembali. Dan itu sebenarnya sayang itu. Karena kalau dulu di setiap conference of the state party-nya United Nations Convention against Corruption (UNCAC), kan selalu itu ada pertemuan para negara pihak yang meratifikasi UNCAC itu di seluruh dunia, selalu disebutkan bahwa salah satu contoh terbaik itu soal independensi adalah KPK.
Bahkan ketika Australia membuat sekarang kan ada lembaga anti korupsi Australia, Prancis juga membuat, saya masih ingat itu waktu di Wina itu saya dipanggil untuk bicarakan itu, bagaimana pengalaman Indonesia dalam membuat sebuah lembaga anti korupsi. Bayangkan, negara maju tuh belajar melihat dari KPK. Jadi itu contoh baik sebenarnya.
Kita sering dengar dulu pegawai KPK itu disuguhi minum saja gak mau, karena menjaga integritas dan tidak terlibat konflik kepentingan. Ada contoh-contoh lain Pak?
Mudah-mudahan itu harusnya tetap dijalankan. Misalnya ya kami tuh tidak pernah misalnya mau ke Sumatera Utara ketemu gubernur, kami itu tidak pernah mau dijemput. Jadi kami siapkan mobil sendiri, sewa mobil di daerah itu, biasanya Kijang saja, Kijang Innova.
Terus terang itu saya pikir yang ketika Pak Firli masuk katanya sudah ada mulai jemput, sudah ada kelihatan di sana dan ditambahkan misalnya standar harus Alphard, sudah ada rider.
Jadi kita memang harus hati-hati, diundang makan kita tidak mau ikut, kecuali di dalam acara itu, misalnya ada acara di Kementerian Kesehatan, ada penyuluhan anti korupsi, dan itu memang sudah disiapkan makan untuk semua, baru boleh ikut makan. Tapi misalnya ada kunjungan tertentu, ya biasanya memang teman-teman itu tidak mau menikmati. Beberapa ada misalnya untuk enterprise, diantar beli oleh-oleh di mana, itu tidak mau.
Bahkan ya, bahkan misalnya nih ada kunjungan ke Yogyakarta hari Jumat dan Sabtu, setelah itu kan Sabtu Minggu, tiketnya dari KPK, dia tidak boleh memperpanjang tinggalnya walaupun atas biaya dia sendiri, tidak boleh. Jadi harus pulang.
Saya juga pernah mengalami itu, mudah-mudahan masih seperti itu. Kalau misalnya pergi ke hotel atas nama saya, tapi misalnya ada keluarga saya ikut, anak atau istri gitu, dia nggak bisa nginap di kamar itu. Walaupun kan tidak tambah biaya, tetap sudah seperti itu.
Jadi pernah suatu waktu ada keluarga, jadi kita harus buka kamar baru, mengambilkan kamar lain untuk mereka tinggal itu dengan uang pribadi. Itu lebih tinggi dari standarnya UN. Kalau UN itu bisa kalau anak atau istri ikut, boleh. Atau memperpanjang selama itu dibiayai pribadinya sendiri ya boleh.
Standar itu tertulis?
Ya tertulis, tertulis dalam peraturan komisi. Saya kurang tahu apakah sekarang ini masih banyak. Jadi memang agak lelah itu jadi pejabat di KPK. Apalagi wartawan seperti kalian gitu kan, kalau dulu tuh semua pindah ke mana saja kalian ikutin atau apa sehingga kadang lelah.
Apa harapan Pak Laode ke depan untuk reformasi hukum maupun KPK?
Sebagai penutup kami juga berharap bahwa presiden terpilih dan wakil presiden terpilih itu bisa menjadi panglima perbaikan tata kelola pemerintahan di Indonesia, khususnya menjadi Panglima Anti Korupsi dan Panglima Penyelamatan Lingkungan di Indonesia.