Menakar Janji Nawacita Jokowi Soal Kebebasan Beragama Jelang Purnatugas
ERA.id - Kurang dari satu bulan masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir, digantikan oleh Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia ke-8. Namun, sejumlah janji-janji Jokowi yang termaktub dalam Nawacita atau sembilan agenda prioritas tak kunjung ditepati. Salah satunya soal kebhinekaan dan kebebasan beragama.
Masih teringat jelas saat Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014 dan 2019. Berulang kali ia selalu berjanji untuk memperteguh kebhinekaan dan memperkuat perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Jokowi bertekad memajukan kebebasan beragama dan memperkuat kerukunan di tengah keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia. Namun apakah realisasi janji yang digaungkan Jokowi itu bak jauh panggang dari api?
Meski beberapa kali pemerintah menghelat agenda atau event keagamaan seperti Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara bersama tokoh-tokoh Islam pada 2022, atau Perayaan Natal Nasional di Sentul International Convention Center Bogor pada 2019, namun semua hanyalah seremonial belaka.
Realitanya, jika membaca pelbagai laporan media massa, fakta lapangan mencatatkan angka kasus diskriminasi bahkan persekusi atas kebebasan beragama dan berkeyakinan masih tinggi.
Banyaknya peraturan diskriminatif juga menambah daftar panjang pelanggaran HAM terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), salah satunya Ranperpres PKUB. Penolakan pendirian hingga penutupan rumah ibadah atau keagamaan menyasar semua agama dan keyakinan di Indonesia, mulai dari gereja, masjid, vihara, pesantren, dan lainnya.
Sayangnya kasus KBB di Indonesia seperti gunung es, masih banyak kasus yang tidak dilaporkan, tidak tercatat, hingga tidak terselesaikan. Pendeta Palti Panjaitan dari Sobat KBB mengatakan kasus-kasus KBB di daerah-daerah Indonesia masih banyak yang tidak terekspos.
“Tidak semua berani mengekspos atau advokasi terbuka. Tidak semua membuka itu karena memperhitungkan keberadaan mereka di masyarakat sipil,” kata Pendeta Palti.
Masih banyak kasus-kasus KBB yang tidak terpublikasi di media nasional maupun daerah. Tingginya kasus pelanggaran HAM terkait KBB, jaringan CSO yang mengadvokasi isu KBB membuat Task Force KBB. Salah satu program yang diadakan, yaitu Hotline KBB.
Namun jika hanya mengandalkan masyarakat sipil untuk merajut kebhinekaan, toleransi dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, ini hanya ibarat menulis di atas air, susah.
Berdasarkan laporan Setara Institute, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) justru meningkat pada periode kedua kepemimpinan Jokowi.
Sepanjang 2023, tercatat ada 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran KBB, naik dari 175 peristiwa pada tahun sebelumnya. Kasus gangguan terhadap rumah ibadah menjadi sorotan utama, dengan 65 insiden, termasuk gereja, masjid, pura, dan vihara.
Tindakan pelanggaran kebebasan beragama ini dilakukan oleh dua kelompok utama: aktor negara dan aktor non-negara. Aktor negara, termasuk pemerintah daerah, kepolisian, TNI, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), bertanggung jawab atas 114 tindakan.
Pemerintah daerah menempati posisi teratas dengan 40 tindakan, diikuti oleh kepolisian dengan 24 tindakan. Di sisi lain, aktor non-negara seperti warga, ormas keagamaan, dan individu terlibat dalam 215 tindakan. Warga menjadi pelaku terbesar dengan 78 tindakan, sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terlibat dalam 17 tindakan.
Gangguan Terhadap Tempat Ibadah Meningkat
Salah satu temuan yang mencolok dalam laporan ini adalah terus meningkatnya gangguan terhadap tempat ibadah. Sepanjang 2023, terjadi 65 insiden gangguan terhadap rumah ibadah, dengan mayoritas kasus menimpa gereja (40 kasus) dan masjid (17 kasus).
Jumlah ini meningkat tajam jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti 50 kasus pada 2022 dan hanya 16 kasus pada 2017. Banyak dari penolakan pendirian tempat ibadah ini disebabkan oleh interpretasi yang ketat atau penyimpangan dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006, yang mensyaratkan 90 pengguna tempat ibadah dan 60 dukungan warga setempat.
Diskriminasi hingga Penggunaan Delik Penodaan Agama Masih Tinggi
Penggunaan hukum penodaan agama juga menjadi sorotan dalam laporan Setara Institute. Sepanjang 2023, tercatat ada 15 kasus penodaan agama, sedikit menurun dari 19 kasus pada 2022, tetapi tetap menunjukkan masalah besar dalam penegakan hukum terkait kebebasan beragama.
Hukum penodaan agama ini kerap dianggap diskriminatif dan digunakan sebagai alat untuk menekan kebebasan berekspresi, terutama dalam isu keagamaan.
Selain pelanggaran kebebasan beragama oleh negara, intoleransi di kalangan masyarakat juga menjadi masalah serius. Laporan tersebut mencatat 26 tindakan intoleransi yang dilakukan masyarakat, dan 23 tindakan diskriminasi oleh elemen negara.
Korban yang paling banyak terdampak adalah umat Kristen dan Katolik dengan 54 peristiwa, diikuti oleh warga, pengusaha, serta kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Muhammadiyah.
Provinsi dengan Pelanggaran Terbesar
Secara geografis, Jawa Barat menjadi wilayah dengan jumlah pelanggaran terbanyak, dengan 47 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. Provinsi lain yang juga mencatat angka tinggi adalah Jawa Timur dengan 29 peristiwa, diikuti oleh DKI Jakarta (19 peristiwa), Sumatera Utara (17 peristiwa), dan Jawa Tengah (14 peristiwa).
Kedatangan Paus Fransiskus: Angin Segar di Tengah Ketegangan
Di tengah situasi yang penuh tantangan, dunia internasional menyoroti Indonesia sebagai negara dengan keragaman agama terbesar, terutama setelah kedatangan Paus Fransiskus ke Jakarta pada awal September 2024. Kedatangan Paus ini merupakan yang ketiga dalam sejarah Indonesia setelah Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II.
Dalam khotbahnya, Paus Fransiskus menyerukan pentingnya kerukunan antaragama dan berharap para pemimpin agama dapat menjaga harmoni. Ia menekankan agar perbedaan agama tidak dijadikan alasan untuk pemaksaan dogma dan mengingatkan bahaya fundamentalisme yang merusak.
Paus Fransiskus berharap bahwa pemerintahan Prabowo akan memberikan warna baru dalam kebebasan beragama. Namun, dengan kondisi masyarakat yang masih sarat intoleransi, ke depannya, Indonesia membutuhkan langkah yang lebih kuat untuk menjamin kebebasan beragama.
Beberapa rekomendasi yang muncul termasuk perlunya reformasi regulasi, penguatan literasi toleransi di kalangan masyarakat, serta agenda pemajuan inklusi sosial dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2024-2045.
Harapan juga terletak pada pemerintahan baru untuk menghadirkan kebijakan yang lebih inklusif dan efektif dalam menjamin hak-hak beragama semua warga negara.