Hasil Kerja DPR Selama Periode 2019-2024, Termasuk Omnibus Law yang Banyak Diprotes
ERA.id - DPR RI merampungkan Rapat Paripurna DPR RI Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2024—2025 Keanggotaan DPR RI 2019—2024, Senin pagi di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.
Rapat berlangsung pukul 09.30 WIB itu beragendakan pengambilan keputusan Pembicara Tingkat II terhadap sejumlah rancangan undang-undang (RUU) dan dipimpin Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Dalam pidatonya, Puan mengaku pihaknya selama satu periode ini, bersama Pemerintah, telah membehas sejumlah Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui menjadi Undang-Undang, di antaranya adalah sebagai berikut.
Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025—2045;
Undang-Undang tentang Keimigrasian; Undang-Undang tentang Kementerian Negara;
Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden; Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025.
"Dengan demikian, selama periode 2019—2024, DPR RI telah menyelesaikan 225 Rancangan Undang-Undang,: kata Puan.
Ratusan RUU itu terdiri atas 48 Rancangan Undang-Undang dari daftar Prolegnas 2019—2024; 177 Rancangan Undang-Undang kumulatif terbuka; dan 5 Rancangan Undang-Undang yang tidak dilanjutkan pembahasannya salah satunya Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan (POM).
Puan menambahkan, selama menjabat sebagai ketua, DPR juga telah menjalankan transformasi dalam memenuhi kebutuhan hukum nasional, yaitu pembentukan undang-undang yang dilakukan dengan metode omnibus law; suatu pembentukan Undang-Undang yang terintegrasi dengan perubahan dari berbagai Undang-Undang lain.
Omnibus law ini, dalam bentuk Cipta Kerja, untuk diketahui, merupakan produk yang menuai banyak protes di pelbagai daerah, sebab dianggap memuluskan jalan industrialiasi dan semakin menekan perburuhan dalam negeri atas nama revolusi industri 4.0.
"Kita menyadari bersama bahwa dalam membentuk suatu Undang-Undang, terdapat berbagai perspektif, kepentingan, keberpihakan, dan dampak yang perlu diperhatikan. Dalam membentuk Undang-Undang, dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari para pihak, fraksi-fraksi di DPR RI, dan dari Pemerintah agar dapat mencapai titik temu substansi Undang-Undang yang sungguh-sungguh bagi kepentingan negara Indonesia dan rakyat Indonesia," tambah Puan.
Terakhir, Puan berharap DPR mesti mendengarkan kritik dan otokritik dalam membuat Undang-Undang, yaitu pembentukan Undang-Undang harus dilaksanakan sesuai dengan syarat formal.
"Melalui pembentukan Undang-Undang yang memenuhi syarat formal serta meaningful participation dari rakyat, kualitas suatu Undang-Undang akan teruji, apakah Undang-Undang tersebut sungguh-sungguh untuk kepentingan negara dan rakyat?" tandasnya.