Cara Negara Mencampuri Privasi Warganya Lewat RUU Ketahanan Keluarga

Jakarta, era.id - Wakil rakyat di Senayan seperti tak putus akal mencari sensasi dari perannya sebagai pembuat undang-undang. Setelah ramai-ramai dikritik soal isi draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja, kini publik dibuat berat otak dengan isi draf RUU Ketahanan Keluarga yang dinilai terlalu dalam mencampuri ranah privasi warganya.

Beberapa pasal yang menjadi sorotan publik antara lain mengatur soal kewajiban istri; melarang donor sperma dan ovum; melarang sewa rahim atau surogasi; hingga wajib melaporkan tentang adanya penyimpangan seksual dan penyimpangan aktivitas seksual dalam keluarga.

RUU Ketahanan Keluarga ini sendiri sudah masuk dalam daftar Prolegnas 2020-2024. Saat ini, RUU tersebut sudah masuk tahap penyusunan dan harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Sementara pengusulnya ada lima orang anggota DPR lintas fraksi, yaitu Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS; Sodik Mudjahid dari Gerindra; Endang Maria Astuti dari Golkar; dan Ali Taher dari PAN.

Netty Prasetiyani, salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga, membantah adanya isi yang mengatur soal LGBT dan aktivitas seksual seperti Bondage, Discipline, Dominance, Submission, Sadism, dan Masochism (BDSM) ke dalam RUU usulannya itu. Dia menjelaskan, semangat dari RUU ini adalah menciptakan keluarga ideal untuk mewujudkan peradaban Indonesia yang lebih sejahtera.

"Enggak ada (soal LGBT dan BDSM). Ini hanya bagaimana caranya agar nilai-nilai yang berasal dari jati diri dan indentitas bangsa Indonesia, mulai dari kejujuran, kemandirian, gotong royong, kedisiplinan itu menjadi sistem dalam keluarga itu," ujar Netty saat ditemui di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).

Ditemui terpisah, Sodik Mudjahid juga berkilah kalau RUU Ketahanan Keluarga sama sekali tidak mengatur hubungan privasi warga negara. Hanya saja dia menyebut bahwa homoseksual bisa mengganggu masa depan umat manusia, keluarga, dan bangsa jika dibiarkan masif.

Ilustrasi pernikahan. (Foto: Pixabay)

"Sekali lagi keluarga adalah lembaga dasar. Semua etika moral perilaku dimulai dari keluarga. Kita harus menguatkan keluarga. Menguatkan mutu keluarga berkualitas, termasuk melindungi keluarga dari hal-hal semacam itu (homoseksual)," katanya.

Lebih lanjut, politikus Gerindra ini menegaskan ada perbedaan pandangan tentang LGBT di Indonesia dan dunia barat. Menurutnya, LGBT tidak sesuai dengan Pancasila dan tidak ada hubungannya dengan mencampuri ranah privasi.

"Mohon maaf, saya kira Pancasila berbeda, mana ukuran privacy dan bangsa. Mungkin di negara barat dianggap urusan pribadi, tapi ketika masuk ke Pancasila, tidak pribadi lagi," kilahnya.

Sayangnya, apa yang ditampik oleh Netty tidak sesuai kenyataannya. Dari penelusuran draf RUU Ketahanan Keluarga yang diterima era.id, justru terdapat pasal soal penyimpangan seksual maupun aktivitas sekual yang dianggap menyimpang.

Pasal 85, misalnya, disebutkan bahwa sebuah badan atau lembaga rehabilitasi yang diberi kewenangan wajib menangani krisis keluarga akibat tindak "penyimpangan seksual". Penanganan tersebut dilakukan dalam bentuk rehabilitasi sosial, psikologis, medis, atau bimbingan rohani. 

Sementara pasal turunannya dijelaskan bahwa setiap individu yang melakukan penyimpangan seksual atau keluarga yang anggotanya melakukan penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada lembaga-lembaga rehabilitasi tersebut.

Sementara dalam Pasal 50 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib melindungi eksistensi keluarga dari ancaman fisik maupun non-fisik sesuai dengan norma agama, etika sosial, dan ketentuan pertatuan perundang-undangan.

Mengatur kewajiban suami istri hingga soal reproduksi

Tak hanya soal penyimpangan seksual atau aktivitas seksual yang dianggap menyimpang saja, RUU Ketahanan Keluarga juga memuat pasal-pasal yang mengatur kewajiban suami dan istri, hingga soal reproduksi.

Pasal 25 ayat (1) misalnya, menyebutkan bahwa setiap suami istri yang terikat perkawinan yang sah melaksanakan kewajiban masing-masing sesuai dengan norma agama, etika sosial, dan ketentuan pertaturan perundang-udangan.

Selanjutnya, dalam ayat turunannya dijabarkan apa saja yang menjadi kewajiban suami seperti menjadi kepala keluarga; melindungi keluarga dari diskriminasi dan penyimpangan seksual; melindungi diri dan keluarga dari hal-hal negatif seperti judi hingga seks bebas. Sementara yang menjadi kewajiban istri adalah wajib mengatur urusan rumah tangga; menjaga keutuhan keluarga; memperlakukan suami dan anak dengan baik; dan memenuhi hak-hal suami dan agama sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat.

Kemudan, Pasal 26 ayat (1) menyebut pasangan suami istri berhak melakukan reproduksi. Kemudian pada ayat (2) diatur reproduksi bisa dilakukan secara alamiah dan menggunakan teknologi perantara.

Pasal 31 RUU itu melarang praktik jual beli sperma atau ovum untuk keperluan memperoleh keturunan. Pada ayat (2) juga melarang setiap orang untuk membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain untuk memperjualbelikan sperma ataupun ovum.

Pasal 32 juga melarang adanya praktik surogasi atau sewa rahim untuk memperoleh keturuan dan melarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan mengancam melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.

Selain itu, RUU Ketahanan Keluarga juga menyiapkan sanksi denda dan pidana bagi pelanggarnya. Pasal 139 menyebut orang yang memperjualbelikan sperma atau ovum diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta. Sedangkan dalam Pasal 140 menyebut orang yang membujuk dan memfasilitasi diancam pidana paling lama tujuh tahun dan denda sebesar Rp500 juta. Sanksi serupa juga berlaku untuk Pasal 32 tentang pelarangan praktik surogasi.

RUU Paling Absurd dan Tumpang Tindih

Bahrul Fuad, salah satu Komisioner Komnas Perempuan, menilai RUU Ketahanan Keluarga ini sebagai RUU yang sangat absurd. Sebab cakupannya terlalu umum, juga tumpang tidih dengan beberapa undang-undang yang sudah berlaku seperti UU Perkawinan sampai KUHP.

"Sehingga posisinya menjadi tidak jelas itu secara tinjuannya kebijakan," kata Fuad saat dihubungi era.id, Senin (18/2).

Itu baru tinjauan akademik. Dari sisi substansi, Fuad sepakat jika RUU Ketahanan Keluarga bisa sangat berbahaya bila sampai disahkan. Sebab, dengan melegalkan RUU tersebut, maka negara sudah ikut campur terlalu jauh ke dalam ranah privat warga negaranya dengan mengatur serta membentuk "keluarga ideal".

Kesetaraan gender. (Ilustrasi/PIxabay)

Lebih dari itu, kata Fuad, RUU Ketahanan Keluarga memuat cara pandang yang sangat patriarki. Padahal saat ini, banyak masyarakat yang sedang mendorong terjadinya gender equality atau kesetaraan gander.

"Ini kan yang diadopsi konsep-konsep patriarki, dalam draf itu juga seakan-akan ada dometikalisasi terhadap peran perempuan, yang sebenarnya kita dorong terwujudnya kesetaraan, bukan domestikalisasi," kata Fuad.

Menurut Fuad, konsep-konsep patriarki saat ini mulai tergeser di dalam keluarga-keluarga modern dengan pemikiran yang lebih terbuka. Dia mencontohkan soal pembagian peran suami istri, di mana istri bisa saja menjadi kepala keluarga karena alasan satu dan lain hal, atau isti punya penghasilan yang lebih besar dari suami.

Contoh lain soal LGBT, Komnas Perempuan sendiri sepakat jika orientasi seksual ini adalah hak asasi manusia. Pun demikian dengan BDSM, selama ada konsesus dari dua belah pihak, seharusnya tidak menjadi masalah.

"Kecuali kalau itu tidak ada konsesus, toh sebenarnya soal kekerasan dalam rumah tangga sudah sangat matang dibahas dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," kata Fuad.

"RUU ini kan juga ada sanksinya, nah berapa banyak keluarga yang berhadapan dengan hukum gara-gara ini. Bagi saya tidak perlu ada RUU Ketahanan Keluarga, karena UU yang ada sudah cukup," pungkasnya.